Wednesday, March 20, 2013

TENTANG KEPRIBADIAN ISLAM

TENTANG KEPRIBADIAN ISLAM

A. Pengertian Kepribadian Muslim
Batasan tentang kepribadian muslim, telah dirumuskan dalam uraian terdahulu.[1] Namun untuk lebih mengetahui secara utuh dan menyeluruh tentang apa, mengapa, dan bagaimana sebenarnya dengan kepribadian muslim itu, masih penting penjelasan akurat tentangnya.37

Dari berbagai literatur yang ditelaah, ditemukan bahwa term kepribadian dalam beberapa bahasa disebut dengan personality (Inggris); persoonlijkheid (Belanda); personnalita (Prancis); personalita (Itali); personlichkeit (Jerman); dan personalidad (Spayol).[2] Abd. Mujib menjelaskan bahwa dari term-term kepribadian dalam berbagai bahasa, pada dasarnya masing-masing sebutan itu berasal dari kata latin, yakni persona yang berarti topeng.[3] Topeng adalah tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung yang maksudnya untuk meng-gambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Dengan demikian, kepribadian yang digambarkan oleh sebuah topeng menunjukkan suatu kualitas prilaku dominan seseorang. Bilamana dalam keseharian seseorang prilakunya dominan baik, kepribadiannya baik pula. Bilamana selalu buruk, kepribadiannya buruk pula.

Dalam konsep ajaran Islam, kepribadian yang baik, adalah sosok kepribadian muslim yang ideal. Kepribadian yang demikian, dalam kamus (al-munjid) bahasa Arab disebut iyah*syakhs al-bārizah.[4] Kata iyah*syakhs ini, berakar dari kata syakhs artinya pribadi. Kata tersebut kemudian diberi yā nisbat, menjadi kata benda buatan (inā'iy dar s mas).

Di samping kata iyah*syakhs, Alquran juga mengkonotasikan kepribadian dengan kata al-nafsiyat yang berasal dari kata nafs, artinya diri pribadi, atau individu.[5] Kemudian dalam "Ilmu Akhlak" dikenal dengan sebutan al-khulq.[6] Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata iyah, al-syakhs namun ia juga memiliki kekhususan makna.

Kata nafsiyah yang akar katanya nafs, dapat berarti nyawa, atau roh. Sementara kata al-khulq menggambarkan citra fitrah nafsani psikis manusia. Jadi nafsiyah dan al-khulq memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lainnya. Berkenaan dengan itulah, penulis cenderung menggunakan istilah iyah*syakhs dalam merumuskan definisi kepribadian muslim. Di samping secara psikologis sudah populer dalam berbagai kamus bahasa (al-munjid fī al-lugah),[7] term ini juga mencerminkan makna kepribadian lahir dan batin. Jadi kepribadian muslim dalam bahasa Arab disebut iyat al-muslim syakhs, sosok individu yang terintegrasi dengan sistem kalbu, akal, dan nafsu yang menimbulkan tingkah laku pada diri setiap muslim.

Selanjutnya batasan kepribadian secara terminologi, ditemukan pula keragaman definisi yang dikemukakan masing-masing pakar sesuai bidangnya. Sigmund Freud sebagai bapak psikoanalisis mendefiniskan kepribadian sebagai integrasi dari id, ego, dan super ego.[8] Id sebagai komponen kepribadian psikologis, ego sebagai komponen kepribadian psikologis, dan super ego sebagai komponen kepribadian sosiologis. Ketiga sistem ini, tidak dipandang sebagai elemen-elemen yang terpisah-pisah, melainkan suatu nama untuk berbagai proses psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip sistem yang berbeda. Dengan demikian, definisi yang dikemukakan Sigmund Freud menekankan kekuatan aktif dalam diri individu dan tidak menekankan pada kebiasaan-kebiasaan seseorang. Kekuataan yang dimaksud berupa organisasi sistem-sistem psikis yang secara integratif bekerja sama untuk mencapai tingkah laku tertentu.

Berdasar pada definisi-definisi kepribadian di atas, dapat dirumuskan bahwa terdapat dua kata kunci mengenai kepribadian, yakni “sifat” dan “sikap” yang ada pada setiap individu dan tercermin dalam prilakunya sehari-hari. Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa kepribadian adalah organisasi psiko dan fisik yang dinamis dan tergambar dalam diri setiap individu yang masing-masing berbeda dengan individu lainnya dalam menentukan penyesuaian dirinya masing-masing terhadap lingkungannya. Dengan batasan seperti ini, dengan mudah akan diketahui apa yang dimaksud kepribadian muslim. Sekaitan dengan itu, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa yang makna yang terkandung dalam term muslim.

Muslim dalam bahasa Arab berakar dari kata salima, tersusun dari huruf-huruf s-l-m (س،ل،م) yang berarti al-inqiyād[9] (sikap tunduk dan patuh), al-istislām[10] (sikap berserah diri) dan al-ikhlās[11] (sikap ketulusan hati). Kemudian kata salima (سلم) tersebut berubah menjadi fi’il śulāsy mazīd, yakni aslama, yuslimu, islāman, yang secara leksikal berarti selamat, damai, tunduk dan sentosa. Jadi, Islam bisa berarti sesuatu yang menyelamatkan, mendamaikan, menundukkan dan mensentosakan manusia. Dari kata islāman inilah kemudian menjadi isim fail (subyek), yakni al-muslim atau muslimun (مُسْلِمٌ) artinya orang yang selamat, orang yang damai, orang yang tudnuk dan hidup sentosa.

Al-Alūsi menyatakan bahwa term muslim secara lugawi terdiri atas beberapa makna yakni mutqin (orang yakin atas kebenaran), mu'min (orang percaya atas kebanaran), dan sin muh (orang yang berbuat baik). Sehingga, jati diri seorang muslim adalah membenarkan yang benar (dīq al-tas), dan mengakuinya dalam bentuk ucapan (al-ikrār), kemudian terimplementasi dalam kebiasaan (al-adat) berbuat amal (al-amal).[12]
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa muslim adalah orang yang menyerah, yakni penyerahan diri seseorang kepada pihak lain, dan terbatas pada penyerahan fisik. Namun bila dihubungkan dalam hal keberagamaan, muslim adalah orang yang menyerah kepada Allah.[13] Jadi seoranng muslim dituntut memiliki kepribadian yang patuh hanya kepada Allah, konsekuen menjalankan ajaran yang diturunkan-Nya melalui rasul-Nya, yaitu agama Islam. Allah ber firman dalam QS. al-Baqarah (2): 208

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ(208)
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[14]

M. Quraish Shihab lebih lanjut mengomentari bahwa maksud ayat tersebut antara lain adalah menyatukan akan dan hati, jangan berlaku seperti setan yang memisahkan antara hati dan akalnya, serta menyulut peperangan antara perasaan dan pengetahuan-nya. Pada saat seseorang menyerahkan diri secara fisik, nalar, dan jiwanya kepada Allah dan Rasul, baru pada saat itu dinamai berkepribadian muslim sejati.[15] Dengan begitu, tidak pantas seorang muslim menyandang sifat salam (damai) dan islam (selamat) kalau kepribadiannya jauh dari ajaran agama Islam itu sendiri.

Setelah memahami batasan term muslim, yakni orang yang menyerahkan dirinya sepenuhnya (bertawakkal) kepada Allah swt. dan menjalankan semua ajaran agama (Islam) secara baik dan benar sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi-Nya. maka dapat dirumus-kan bahwa kepribadian muslim adalah kepribadian Islam secara universal, yakni kepribadian setiap individu yang sifat dan sikapnya terintegrasi dalam perilakunya yang terpuji (mūdah akhlāq al-mah) sebagaimana yang digambarkan dalam Alquran, atau yang tergambar dalam kepribadian Nabi saw. sebagai asanah uswah al-h.

B. Faktor-faktor yang Membentuk Kepribadian
Kepribadian manusia secara umum, dan termasuk di dalamnya tentang kepribadian muslim secara khusus, telah mendapat perhatian dari kalangan pakar psikologi dan pendidikan dengan berbagai alirannya. Studi mereka lebih berfokus pada faktor-faktor yang menentukan kepribadian. Terdapat tiga aliran besar yang masing-masing memiliki asumsi berbeda dalam melihat faktor-faktor yang membentuk kepribadian. Tiga aliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan konvergensi.

1. Aliran Nativisme
Nativisme berasal dari kata natus = lahir; nativis = pembawaan yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar).[16] Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri setiap pribadi, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap kepribadian. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau orangtuanya berkepribadian muslim, kemungkinan besar anaknya juga berkepribadian muslim.

Aliran nativisme memandang hereditas (heredity) sebagai penentu kepribadian. Hereditas adalah totalitas sifat-sifat karakteristik yang dibawah atau dipindahkan dari orang tua ke anak keturunannya. Perpindahan genetik ini merupakanb fungsi dari kromosom dan gen. Kromoson adalah bagian sel yang mengandung sifat keturunan, satu tubuh yang berwarna gelap di dalam inti sel elementer. Gen adalah sebarang partikel hipotetik yang terletak sepanjang kromoson-kromoson yang menjadi unit elementer dari sifat keturunan atau kebakaan.[17]

Asumsi yang mendasari aliran nativisme ini, adalah bahwa pada kepribadian anak dan orang tua terdapat banyak kesamaan, baik dalam aspek fisik dan psikis. Setiap manusia memiliki gen, dan gen orangtua ini yang berpinda pada anak. Dengan begitu, para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk berdasarkan gen orangtuanya. Sehingga, kepribadian ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir.[18] Berdasarkan pandangan ini, maka baik dan buruknya kepribadian seseorang ditentukan oleh pembawaan.

Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi kepribadian seseorang. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalu anak mempunyai pembawaan kepribadiaan jahat, dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan kepribadian baik, dia menjadi orang yang baik. Kepribadian buruk dan baik ini tidak dapat dirubah oleh kekuatan lingkungan.

Berkenaan dengan inti ajaran aliran nativisme, dapat dipahami bahwa aliran ini bersifat passimisme, karena para penganutnya menunjukkan sifat pesimistis terhadap kemampuan manusia dalam mengembangkan kepribadiannya yang dibawa sejak lahir. Dengan kata lain, kepribadian anak seluruhnya ditentukan oleh hukum-hukum pewarisan.

Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh yang lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya “inti” privasi atau jati diri kepribadian manusia.[19] Dengan begitu aliran ini hampir mirip dengan keyakinan agama budaya yang menyatakan bahwa arwah serta pembawaan nenek moyang dapat kembali pada garis keturunannya (reinkarnasi). Arwah yanng baik mereinkarnasi pada keturunannya untuk memberikan petunjuk pada manusia yang hidup.

Berdasarkan uraian di atas, maka aliran nativisme pada dasarnya terlepas dari konsep fitrah karena melepaskan diri dari ikatan agama yang transedental. Manusia menurut aliran ini seakan-akan mentuhankan orantua dan nenekmoyang, sebab dialah sumber utama pewarisan kepribadian.

2. Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri artinya, pengalaman), dan disebut juga aliran environmentalisme, yaitu suatu aliran yang menitikberatkan pandangan-nya pada peranan lingkungan sebagai penyebab timbulnya kepribadian.[20] Aliran ini tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi kepribadian yang di bawah manusia sejak kelahirannya. Dengan kata lain bahwa anak manusia itu lahir dalam keadaan suci dalam pengertian anak bersih tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa kepribadian seseorang besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.

Asumsi psikologis yang mendasari aliran empirisme ini, adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki pembawaan kepribadian. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki. Perwujudan kepribadian ditentukan oleh luar diri yang disebut lingkungan, dengan kiat-kiat rekayasa yang bersifat edukatif. Dapat diilustrasikan bahwa setiap bayi, menangis bila merasa lapar, haus, dan sakit yang berarti bahwa bayi tersebut dalam keadaan kosong yang memerlukan bantuan, dan kemudian kepribadian menjadi tumbuh dan berkembang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dalam proses kehidupannya.

Bilamana aliran nativisme disebut aliran pasimesme, maka aliran empirisme ini dapat disebut sebaga aliran optimisme. Sebab, inti ajarannya adalah menganggap kepribadian menjadi akan lebih lain apabila dirangsang oleh usaha-usaha sekuat tenaga. Kepribadian manusia bukanlah sebuah robot yang diprogram secara deterministik, apalagi menyerah pada pembawaan nasibnya. Dengan aliran empirisme ini telah menyumbangkan pemikiran tentang bagaimana manusia agar segara membentuk kepribadiannya yang ideal.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih.[21] Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan kepribadian manusia.

3. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa corak kepribadian ditentukan oleh dasar (bakat, keturunan) dan lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Konvergensi sebagai satu aliran teori, menekankan adanya hubungan antara faktor pembawaan sejak lahir dan faktor pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Itu berarti bahwa aliran komvergensi ini, mempertemukan teori nativisme dan empirisme.

Manusia secara pribadi telah memiliki bakat masing-masing yang dibawanya sejak lahir (fitrah), yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan bakat tadi akan mengalami perkembangan. Akan tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi aktual (menjadi kenyataan), jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Dengan begitu, hereditas tidak akan berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan. Sebaliknya, rangsangan lingkungan tidak akan membina kepribadian yang ideal tanpa didasari oleh faktor hereditas. Ringkasnya, penentuan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh kerja yang integral antara faktor internal dan eksternal.

Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia  disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk.[22] Kepribadian baik yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik pula tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan kepribadian itu. Jadi seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan muslim, namun bila tidak didukung oleh lingkungan yang bersangkutan tidak akan mampu pula mewujudkan dirinya ke dalam prilaku muslim.

Jadi inti aliran konvergensi ini, adalah bahwa kepribadian seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor warisan saja, dan tidak juga ditentukan oleh faktor lingkungan. Kepribadian seseorang akan ditentukan oleh hasil perpaduan antara kedua faktor tersebut, hasil kerjasama antara faktor-faktor yang ada pada diri seseorang, dan faktor-faktor di luarnya akan bermuara suatu pribadi yang ideal.

Sejalan dengan itu, Nasir Budiman menyatakan bahwa manusia dengan segala perwatakan dan ciri-ciri pertumbuhannya adalah perwujudan dua faktor, yaitu faktor warisan dan lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi manusia dan berintegrasi denganya sejak hari pertama kelahirannya sampai akhir hayatnya.[23]

Berdasarkan pada uraian-uraian di atas, kelihatan bahwa konsep kepribadian perspektif Islam akan lebih dekat pada aliran kovergensi yang tidak mengabaikan konsep fitrah, walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya. Adapun kedekatannya, adalah bahwa Islam menegaskan kepribadian manusia memiliki fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat bawaan, meskipun semua itu masih merupakan potensi yang aumiy mengandung berbagai kemungkinan, seperti yang dijelaskan oleh al-T :

Betapapun juga, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku hingga tidak bisa dipengaruhi. Bahkan ia bisa dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting.[24] Ditegaskan pula dalam sebuah hadis ;

عَنْ اَبيِ هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ e : كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبْوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ[25]
Artinya:
‘Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw. bersabda: setiap anak yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi’. (HR. Muslim)

Konsep fitrah dalam hadis di atas, dan sebagaimana pula yang telah dijelaskan bahwa, ia mengandung arti potensi dasar yang dibawa oleh setiap manusia sejak lahir. Potensi ini adalah kepribadian Islam, namun potensi kepribadian tersebut kadangkala tidak bisa berkembang karena keadaan lingkungan yang tidak mendukung. Seorang anak memungkinkan saja berkepribadian Yahudi atau Nasrani bila tidak ada usaha orangtua (lingkungan) yang mengarahkannya.

Dapat dirumuskan bahwa Islam mengakui faktor keturunan (bakat, pembawaan) dan faktor lingkungan (pengalaman) sebagai penentu baik dan buruknya kepribadian. Akan tetapi di samping kedua faktor tersebut masih ada lagi faktor lain yang cukup berpengaruh, yaitu hidaya Allah swt. Bahkan faktor hidayah ini sering lebih dominan dalam menentukan sosok kepribadian. Seorang anak, yang sudah terbiasa beraklak buruk sejak kecil, tidak menunaikan kewajiban agama, namun pada suatu saat, setelah ia mendapat hidayah Allah swt, ia menjadi anak shaleh dan sangat tampak dalam perilakunya, mūdah akhlāq al-mah.

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Kepribadian
Hukum-hukum genase (pertumbuhan/perkembangan) dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni; hukum kesatuan organis,[26] hukum tempo,[27] dan hukum konvergensi.[28] Ketiga hukum ini, berlaku juga pada setiap kepribadian manusia. Namun keberlakuan ketiga hukum tersebut pada setiap pribadi memiliki perbedaan dengan individu-individu lainnya. Dengan demikian, masalah pertumbuhan dan perkembangan erat kaitannya dengan masalah kepribadian manusia.

Dalam berbagai literatur, ditemukan rumusan bahwa batasan makna pertumbuhan sering diartikan sama dengan perkembangan, sehingga kedua istilah itu penggunaannya seringkali dipertukarkan untuk makna yang sama. Ada pakar yang suka menggunakan istilah pertumbuhan saja dan ada yang suka menggunakan istilah per-kembangan saja. Terkait dengan itu, maka penulis dalam kajian ini merumuskan bahwa istilah pertumbuhan diberi makna dan digunakan untuk menyatakan perubahan-perubahan ukuran fisik, sedang istilah perkembangan diberi makna dan digunakan untuk menyatakan terjadinya perubahan-perubahan aspek psikis. Aspek fisik dan psikis ini, merupakan dua unsur yang tergabung dalam diri manusia, sehingga terbentuk kepribadiannya.

Piaget sebagaimana ditulis Sarlito bahwa empat masa per-kembangan manusia, yakni (1) masa sensori motor sejak usia 0,0 sampai 2,5 tahun; (2) masa pra-operasional, usia 2,0 sampai 7,0 tahun; (3) masa konkreto prerasional, usia 7,0 sampai 11,00 tahun; dan (4) masa operasional, usia 11,0 sampai masa dewasa.[29] Selanjutnya, Kretschmer sebagaimana yang ditulis Ahmad Musa mengemukakan bahwa dari lahir sampai dewasa seseorang melewati empat fase dengan beberapa ciri khas, yakni :
  1. Dari usia 0,0 sampai kira-kira 3,0 tahun disebut fillings periode I, pada masa isi anak kelihatan pendek.
  2. Dari kira-kira 3.0 sampai kira-kira 7,0 tahun disebut streckungs periode I, pada masa ini anak kelihatan langsung.
  3. Dari kira-kira 7,0 sampai kira-kira 13,0 tahun disebut filling periode II, pada masa ini anak kembali kelihatan pendek gemuk.
  4. Dari kira-kira 13,0 sampai kira-kira 20,0 tahun disebut streckungs periode II, pada masa ini anak kembali langsing.[30]

Sejalan dengan itu, Sumadi Suryabrata merumuskan bahwa tiap fase dari kelahiran seseorang, ditentukan atas dasar cara-cara reaksi bagian tubuh tertentu. Fase-fase tersebut, adalah :
  1. Fase oral, usia 0,0 sampai kira-kira 1,0 tahun. Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok daripada aktivitas dinamis.
  2. Fase anak, kira-kira usia 1,0 sampai kira 3,0. Pada fase ini dorongan dan tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
  3. Fase falis, kira-kira 3,0 tahun sampai kira-kira 5,0 tahun. Pada fase ini alat-alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
  4. Fase latent, kira-kira 5,0 sampai kira-kira 12,0 tahun atau 13 tahun. Pada fase ini implus-implus cenderung untuk ada dalam keadaan tertekan, atau mengendap.
  5. Fase pubertas, kira-kira 12,0 sampai kira-kira 20,0. Pada fase ini implus-implus menonjol kembali.
  6. Fase genital, sejak 20,0 sampai tua.[31]

Pembagian masa perkembangan yang dikemukakan para ahli berbeda-beda, perbedaan itu disebabkan oleh kebutuhan setiap individu pada hakikatnya akan mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan nonfisik yang yang meliputi aspek-aspek intelek, emosi, sosial, bahasa, bakat khusus, nilai dan moral serta sikap.[32] Berikut ini diuraikan pokok-pokok pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek tersebut yang juga merupakan aspek kepribadian setiap manusia.

1. Pertumbuhan Fisik Manusia
Pendapat umum menyatakan bahwa pertumbuhan kepribadian manusia dalam arti pertumbuhan fisiknya, dimulai dari proses pembuahan, yakni pertemuan sel telur dan sperma yang membentuk suatu sel kehidupan, yang disebut embrio. Embrio manusia yang telah berumur satu bulan, berukuran sekitar setengah sentimeter. Pada umur dua bulan ukuran embrio itu membesar menjadi dua setengah sentimeter dan disebut janin atau “fetus”. Baru setelah satu kemudian (tiga bulan umur kandungan), janin atau fetus tersebut telah berbentuk menyerupai bayi dalam ukuran kecil.[33]

Pertumbuhan fisik manusia berbeda dengan pertumbuhan hewan. Demikian anak hewan itu dilahirkan, dalam waktu yang relatif singkat ia segera dapat berjalan mengikuti induksi untuk mencari makan. Tetapi tidak demikian halnya manusia. Pada awal setelah bayi itu dilahirkan, respon terhadap segala rangsangan dari luar dirinya dilakukan secara refleks dan belum terkordinasikan.

Pertumbuhan fungsi biologis stiap manusia memiliki pola dan urutan yang teratur, banyak psikologis menyatakan bahwa pertumbuhan fisik anak memiliki pola yang sama dan menunjukkan ketaraturan. Dari lahir seorang bayi yang hanya mampu menggerakkan tangannya secara reflektif ke arah kepalanya, setelah umur satu bulan mulai mampu berguling, seterusnya pada umur dua bulan mulai telungkup, merangkak pada umur tiga bulan, duduk dengan sedikit bantuan, duduk sendiri (tanpa bantuan), berdiri, dan melangkah satu dua langkah, dan kemudian mampu berjalan sendiri setelah anak itu berumur lima belas bulan.[34] Pola dan urutan pertumbuhan fungsi fisik ini diikuti oleh perkembangan kemampuan mental spritual secara terus terus menerus, yang pada gilirannya nanti ia akan sampai menjadi manusia yang berkepribadian sempurna.

2. Perkembangan Nonfisik
Seiring dengan pertumbuhan kepribadian manusia dalam aspek fisiknya, manusia juga mengalami perkembangan nonfisik yang cukup siginifikan. Ini berarti bahwa pekembangan kepribadian manusia secara nonfisik bersamaan dengan perkembangan fisiknya. Perkembangan-perkembangan kepribadian seperti ini termasuk di dalamnya adalah :

a. Perkembangan intelek
Intelek atau daya pikir manusia berkembang sejalan dengan pertumbuhan saraf otak. Karena pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak, maka kemampuan intelektual yang lazim disebut dengan istilah lain kemampuan berfikir, dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya secara baik.[35] Perkembangan lebih lanjut tentang intelek ini ditunjukkan pada prilakunya, yaitu tindakannya sampai dengan kemampuannya menarik ke-simpulan dan keputusan. Tindakan ini, terus berkembang mengikuti kekayaan pengetahuannya, sehingga pada saatnya seseorang akan ber-kemampuan melakukan peramalan atau prediksi, perencanaan, dan berbagai kemampuan analisis dan sistesis. Perkembangan berfikir seperti ini, dikenal pula sebagai perkembangan kognitif.[36]

b. Perkembangan emosi
Rasa dan perasaan merupakan salah satu potensi khusus dalam kepribadian manusia. Dalam hidupnya atau dalam proses perkembangan kepribadian manusia, banyak hal yang dibutuhkannya. Dalam kehidupan ini, sering terdapat persamaan-persamaan kebutuhan antara individu yang satu dengan lainnya, dan dengan demikian suatu saat akan timbul persaingan antara individu yang sama-sama ingin memenuhi kebutuhannya. Sebagai akibat ini semua, akan melahirkan perasaan emosi.

Emosi merupakan suatu keadaan kepribadian yang disebut psychosomatics sebagai reaksi total terhadap segala stimuli yang biasanya dibarengi dengan perubahan-perubahan jasmani yang hebat. Emosi dapat merupakan suatu keadaan bergolaknya perasaan sebagai reaksi terhadap segala stimuli (dalaman dan luaran). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa emosi melingkupi, perasaan yang mendalam (inner feeling) dan perasaan yang bergolak.

c. Perkembangan sosial
Pada dasarnya manusia secara pribadi adalah makhluk sosial. Setiap orang memerlukan orang lain, dan dalam proses pertumbuhan juga perkembangan setiap orang tidak dapat berdiri-sendiri. Setiap orang memerlukan lingkungan dan akan memerlukan manusia lainnya. Sejalan dengan itu, setiap orang sejak bayi mulai berkenalan dengan lingkungannya. Pertama-tama ia mengenal ibunya, kemudian ayah dan saudara-saudaranya. Selanjutnya manusia yang dikenalnya semakin banyak dan amat heterogen. Akhirnya, manusia mengenal kehidupan bersama, kemudian bermasyarakat atau berkehidupan sosial. Dalam perkembangan sosialnya, anak belum berkembang dengan sempurna. Selama perkembangan anak dalam ruang sosial dan kebudayaan tertentu akan mengalami berbagai hambatan. Perkembangan tingkah laku sosial berarti perkembangan untuk mencapai kematangan dengan lingkungan sosial. Tercakup dalam perkembangan ini adalah perubahan dalam minat dan keinginan serta pemilihan teman dan sebagainya. Pencapaian kematangan sosial terlaksana dengan sesama manusia, antara pribadi dan manusia lainnya. Dalam per-kembangannya, setiap orang akhirnya mengetahui bahwa manusia itu saling membantu dan dibantu, memberi dan diberi.

d. Perkembangan bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi dan dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan isi jiwanya, seperti cita-cita, perasaan dan sebagainya. Bahasa merupakan alat untuk menyampaikan ide tertentu dan bahasa pada umumnya adalah media untuk bertindak. Bahasa adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada manusia yang merupakan media untuk melahirkan pikiran, perasaan dan kehendak kepada orang lain. Kecakapan berbicara/berbahasa adalah merupakan hal yang esensial dan merupakan kodrat manusia yang diperkembangkan oleh belajar dan interaksi dengan orang lain (antar sesama manusia). Bahasa yang pertama kali digunakan oleh manusia sejak lahirnya, adalah tangisan. Bayi yang lahir sambil menangis adalah menunjukkan gejala kehidupan dan sebagai wahana komunikasi. Dengan tangisan bayi, merupakan isyarat yang disampaikannya bagi orang lain.[37] Dalam perkembangan awal berbahasa lisan, bayi menyampaikan isi pikiran atau perasaannya dengan tangis dan atau ocehan. Ia menangis atau mungkin menjerit jika tidak senang atau sakit dan mengoceh atau merabah jika sedang senang. Gerakan-gerakan seperti ini sangat terkait dengan perkembangan bahasa, karena dengan gerakan-gerakan tersebut orang yang berada di sekitarnya akan memahami isyarat yang disampaikan oleh bayi. Demikian seterusnya sampai bayi itu bisa berbahasa dengan lisan secara baik.

[1]Lihat skripsi ini, bab I, sub bab Pengertian Judul, h. 8
[2]Simpson, D.P., Cassell's Latin Dictionary (New York: Mac Millan Publishing  Co, 1982), h. 442. Bandingkan dengan Agus Sujanto, et all, Psikologi Kepribadian (Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 10.
[3]Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis (Cet.I; Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 72.
[4]M. Napis Djueni, Kamus Kontemporer Istilah Politik-Ekonomi Indonesia Arab (Cet. I; Bandung: Teraju, 2005), h. 218
[5]Lihat misalnya QS. al-Baqarah (2): 48, 123, 233; QS. Ali Imrān (3): 25, 30;  QS. al-Māidah (5): 32; QS. al-An'ām (6): 70; QS. Yūnus (10): 30. Lebih ammad Fū'ad 'Abd. Al-Bāqy, lanjut lihat Muh *al-Mu'jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'an al-Karīm (Bairūt: Dār al-Masyriq, 1977), h. 881.
[6]Imām Abū H āmid al-Ghazāli, yā’ Ulūm al-Dīn, Ih alabi, 1336 H), h. 178 juz V (Kairo: al-Bāb al-H
[7]M. Napis Djueni, loc. cit. Luwis Ma'luf, Al-Munjid Fi al-Lughah (Cet. II; Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 378. Ahmad Warson al-Munawir, Kamus Al-Munawir; Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 701.
[8]Batasan Sigmund Freud tentang kepribadian, dapat dilihat dalam C.P. Chaplin, Dictionary of Personality diterjemahkan oleh Kartini Kartono dengan judul Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 362
[9]Abū H"ammad bin Fāris Zakariyah, usayn Muh Mu’jam Maqāyis al-Lugah, juz I (Cet. III; Mesir: Mus tā fa al-Bāby al-H"alaby wa Awlāduh, 1971), h. 90.
[10]Muh ammad Ibn Mukram Ibn Mażūr, Lisān al-Arab, juz XV (Cet. I; Bairūt: Dār al-Fikr, 1990), h. 181.
[11]Taqy al-Dīn Ibn Taymiyah, Iqtid ā al-Sirāt al-Mustaqīm (Bairūt: Dār al-Fikr, t.th.), h. 454.
[12]Lihat Abū al-Fad*l Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mah mūd al-Alūsi al-Bagdādi, Rūh al-Ma’āny fī Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm wa al-Sab’ al-Maśāni, juz III (Bairūt: Dār al-Fikr, 1993), h. 171-172.
[13]M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi; Al-Quran dan Dinamika Kehidupan (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 12-13.
[14]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1992), h. 50.
[15]M. Quraish Shihab, op. cit., h. 15. Masih M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesam, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume I (Cet. VI; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 448-449
[16]Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Rake Press, 1984), h. 85
[17]Lihat Mohammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 299
[18]Umar Tirharahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 196
[19]Sumadi Suryabrata, op. cit., h. 86
[20]Ibid. 88. Lihat juga Mohammad Noor Syam, op. cit., h. 41
[21]Umar Tirharahardja dan La Sula, op. cit., h. 194
[22]Umar Tirharahardja dan La Sula, op. cit., h. 198
[23]M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an (Cet.I; JakartaL Madani Press, 2001), h. 49
[24]aumiy al-Syabāni, ammad al-T ‘Umar Muh Falsafat al-Tarbiyat al-Islāmiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 138
[25]Imām Ibn H usain Muslim bin H ajjāj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisabūri, al-Jā ah mi Sīh , Juz VI (Bairut: Dār al-Ma’ārif, t.th.), h. 530.
[26]Hukum kesatuan organis artinya anak berkembang secara menyeluruh menurut kesatuan organ-organnya, bukan perkembangan jumlah elemen-elemen yang berdiri sendiri. Hukum ini mengakui bahwa perekmbangan fisikis anak saling pengaruh mempengaruhi. H. M. Arifin, Hubungan Timbal blaik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 39
[27]Hukum tempo menyatakan bahwa tiap anak mempunyai tempo perkembangan dan pertumbuhan sendiri. Ada anak di masa kecilnya dalam perkembangan/pertumbuhan cepat, tetapi setelah dewasa lambat. Misalnya ada anak yang cepat berjalan tapi terlambat bicara atau sebaliknya atau pada masa kanak-kanak kemampuan kecerdasan nya tinggi setelah dewasa menjadi rendah/menurun. Ibid.
[28]Hukum konvergensi adalah bahwa anak bertumbuh dan berkembang dalam dua faktor yang mempengaruhi, yakni pengaruh dari dalam dan dari luar. Pengaruh dari dalam atau faktor yang tidak disengaja yang berupa pembawaan atau bakat, dan sifat keturunan fisik atau psikis. Sedangkan pengaruh dari luar atau faktor lingkungan dan biasa juga disebut faktor disengaja meliputi pendidikan, lingkungan di mana ia hidup, dan pengalaman atau pergaulan. Uraian lebih lanjut, lihat ibid., h. 40.
[29]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Cet.II; Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 81.
[30]Ahmad Musa, Psychology (Cet.II; Bandung: 1979), h. 60.
[31]Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Rake Press, 1984), h. 63.
[32]H. Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 18
[33]Ibid.
[34]Ibid., h. 21
[35]H. Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, op. cit., h. 23
[36]Uraian lebih lanjut, lihat Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit., h. 81
[37]Lihat Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Cet. VII; Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 7

1 comment: