TENTANG KEPRIBADIAN ISLAM
A. Pengertian Kepribadian Muslim
Batasan tentang kepribadian muslim, telah dirumuskan dalam
uraian terdahulu.[1] Namun untuk lebih mengetahui secara utuh dan menyeluruh
tentang apa, mengapa, dan bagaimana sebenarnya dengan kepribadian muslim itu,
masih penting penjelasan akurat tentangnya.37
Dari berbagai literatur yang ditelaah, ditemukan bahwa term
kepribadian dalam beberapa bahasa disebut dengan personality (Inggris);
persoonlijkheid (Belanda); personnalita (Prancis); personalita (Itali);
personlichkeit (Jerman); dan personalidad (Spayol).[2] Abd. Mujib menjelaskan
bahwa dari term-term kepribadian dalam berbagai bahasa, pada dasarnya
masing-masing sebutan itu berasal dari kata latin, yakni persona yang berarti
topeng.[3] Topeng adalah tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain
panggung yang maksudnya untuk meng-gambarkan perilaku, watak atau pribadi
seseorang. Dengan demikian, kepribadian yang digambarkan oleh sebuah topeng
menunjukkan suatu kualitas prilaku dominan seseorang. Bilamana dalam keseharian
seseorang prilakunya dominan baik, kepribadiannya baik pula. Bilamana selalu
buruk, kepribadiannya buruk pula.
Dalam konsep ajaran Islam, kepribadian yang baik, adalah
sosok kepribadian muslim yang ideal. Kepribadian yang demikian, dalam kamus
(al-munjid) bahasa Arab disebut iyah*syakhs al-bārizah.[4] Kata iyah*syakhs
ini, berakar dari kata syakhs artinya pribadi. Kata tersebut kemudian diberi yā
nisbat, menjadi kata benda buatan (inā'iy dar s mas).
Di samping kata iyah*syakhs, Alquran juga mengkonotasikan
kepribadian dengan kata al-nafsiyat yang berasal dari kata nafs, artinya diri
pribadi, atau individu.[5] Kemudian dalam "Ilmu Akhlak" dikenal
dengan sebutan al-khulq.[6] Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan
makna dengan kata iyah, al-syakhs namun ia juga memiliki kekhususan makna.
Kata nafsiyah yang akar katanya nafs, dapat berarti nyawa,
atau roh. Sementara kata al-khulq menggambarkan citra fitrah nafsani psikis
manusia. Jadi nafsiyah dan al-khulq memiliki arti gambaran atau kondisi
kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lainnya. Berkenaan dengan itulah,
penulis cenderung menggunakan istilah iyah*syakhs dalam merumuskan definisi
kepribadian muslim. Di samping secara psikologis sudah populer dalam berbagai
kamus bahasa (al-munjid fī al-lugah),[7] term ini juga mencerminkan makna
kepribadian lahir dan batin. Jadi kepribadian muslim dalam bahasa Arab disebut
iyat al-muslim syakhs, sosok individu yang terintegrasi dengan sistem kalbu,
akal, dan nafsu yang menimbulkan tingkah laku pada diri setiap muslim.
Selanjutnya batasan kepribadian secara terminologi,
ditemukan pula keragaman definisi yang dikemukakan masing-masing pakar sesuai
bidangnya. Sigmund Freud sebagai bapak psikoanalisis mendefiniskan kepribadian
sebagai integrasi dari id, ego, dan super ego.[8] Id sebagai komponen
kepribadian psikologis, ego sebagai komponen kepribadian psikologis, dan super
ego sebagai komponen kepribadian sosiologis. Ketiga sistem ini, tidak dipandang
sebagai elemen-elemen yang terpisah-pisah, melainkan suatu nama untuk berbagai
proses psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip sistem yang berbeda. Dengan
demikian, definisi yang dikemukakan Sigmund Freud menekankan kekuatan aktif
dalam diri individu dan tidak menekankan pada kebiasaan-kebiasaan seseorang.
Kekuataan yang dimaksud berupa organisasi sistem-sistem psikis yang secara
integratif bekerja sama untuk mencapai tingkah laku tertentu.
Berdasar pada definisi-definisi kepribadian di atas, dapat
dirumuskan bahwa terdapat dua kata kunci mengenai kepribadian, yakni “sifat”
dan “sikap” yang ada pada setiap individu dan tercermin dalam prilakunya
sehari-hari. Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa kepribadian adalah
organisasi psiko dan fisik yang dinamis dan tergambar dalam diri setiap
individu yang masing-masing berbeda dengan individu lainnya dalam menentukan
penyesuaian dirinya masing-masing terhadap lingkungannya. Dengan batasan
seperti ini, dengan mudah akan diketahui apa yang dimaksud kepribadian muslim.
Sekaitan dengan itu, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa yang makna yang
terkandung dalam term muslim.
Muslim dalam bahasa Arab berakar dari kata salima, tersusun
dari huruf-huruf s-l-m (س،ل،م) yang berarti al-inqiyād[9] (sikap tunduk dan
patuh), al-istislām[10] (sikap berserah diri) dan al-ikhlās[11] (sikap
ketulusan hati). Kemudian kata salima (سلم) tersebut berubah menjadi fi’il
śulāsy mazīd, yakni aslama, yuslimu, islāman, yang secara leksikal berarti
selamat, damai, tunduk dan sentosa. Jadi, Islam bisa berarti sesuatu yang
menyelamatkan, mendamaikan, menundukkan dan mensentosakan manusia. Dari kata
islāman inilah kemudian menjadi isim fail (subyek), yakni al-muslim atau
muslimun (مُسْلِمٌ) artinya orang yang selamat, orang yang damai, orang yang
tudnuk dan hidup sentosa.
Al-Alūsi menyatakan bahwa term muslim secara lugawi terdiri
atas beberapa makna yakni mutqin (orang yakin atas kebenaran), mu'min (orang
percaya atas kebanaran), dan sin muh (orang yang berbuat baik). Sehingga, jati
diri seorang muslim adalah membenarkan yang benar (dīq al-tas), dan mengakuinya
dalam bentuk ucapan (al-ikrār), kemudian terimplementasi dalam kebiasaan
(al-adat) berbuat amal (al-amal).[12]
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa muslim adalah orang yang
menyerah, yakni penyerahan diri seseorang kepada pihak lain, dan terbatas pada
penyerahan fisik. Namun bila dihubungkan dalam hal keberagamaan, muslim adalah
orang yang menyerah kepada Allah.[13] Jadi seoranng muslim dituntut memiliki
kepribadian yang patuh hanya kepada Allah, konsekuen menjalankan ajaran yang
diturunkan-Nya melalui rasul-Nya, yaitu agama Islam. Allah ber firman dalam QS.
al-Baqarah (2): 208
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ
كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ(208)
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[14]
M. Quraish Shihab lebih lanjut mengomentari bahwa maksud
ayat tersebut antara lain adalah menyatukan akan dan hati, jangan berlaku
seperti setan yang memisahkan antara hati dan akalnya, serta menyulut
peperangan antara perasaan dan pengetahuan-nya. Pada saat seseorang menyerahkan
diri secara fisik, nalar, dan jiwanya kepada Allah dan Rasul, baru pada saat
itu dinamai berkepribadian muslim sejati.[15] Dengan begitu, tidak pantas
seorang muslim menyandang sifat salam (damai) dan islam (selamat) kalau
kepribadiannya jauh dari ajaran agama Islam itu sendiri.
Setelah memahami batasan term muslim, yakni orang yang
menyerahkan dirinya sepenuhnya (bertawakkal) kepada Allah swt. dan menjalankan
semua ajaran agama (Islam) secara baik dan benar sebagaimana yang dicontohkan
oleh nabi-Nya. maka dapat dirumus-kan bahwa kepribadian muslim adalah
kepribadian Islam secara universal, yakni kepribadian setiap individu yang
sifat dan sikapnya terintegrasi dalam perilakunya yang terpuji (mūdah akhlāq
al-mah) sebagaimana yang digambarkan dalam Alquran, atau yang tergambar dalam
kepribadian Nabi saw. sebagai asanah uswah al-h.
B. Faktor-faktor yang Membentuk Kepribadian
Kepribadian manusia secara umum, dan termasuk di dalamnya
tentang kepribadian muslim secara khusus, telah mendapat perhatian dari
kalangan pakar psikologi dan pendidikan dengan berbagai alirannya. Studi mereka
lebih berfokus pada faktor-faktor yang menentukan kepribadian. Terdapat tiga
aliran besar yang masing-masing memiliki asumsi berbeda dalam melihat
faktor-faktor yang membentuk kepribadian. Tiga aliran tersebut adalah
nativisme, empirisme, dan konvergensi.
1. Aliran Nativisme
Nativisme berasal dari kata natus = lahir; nativis =
pembawaan yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah
membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar).[16] Aliran nativisme
ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri
setiap pribadi, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhadap kepribadian. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme
berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak
lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan
oleh dasar turunan, misalnya ; kalau orangtuanya berkepribadian muslim,
kemungkinan besar anaknya juga berkepribadian muslim.
Aliran nativisme memandang hereditas (heredity) sebagai
penentu kepribadian. Hereditas adalah totalitas sifat-sifat karakteristik yang
dibawah atau dipindahkan dari orang tua ke anak keturunannya. Perpindahan
genetik ini merupakanb fungsi dari kromosom dan gen. Kromoson adalah bagian sel
yang mengandung sifat keturunan, satu tubuh yang berwarna gelap di dalam inti
sel elementer. Gen adalah sebarang partikel hipotetik yang terletak sepanjang
kromoson-kromoson yang menjadi unit elementer dari sifat keturunan atau
kebakaan.[17]
Asumsi yang mendasari aliran nativisme ini, adalah bahwa
pada kepribadian anak dan orang tua terdapat banyak kesamaan, baik dalam aspek
fisik dan psikis. Setiap manusia memiliki gen, dan gen orangtua ini yang
berpinda pada anak. Dengan begitu, para penganut aliran nativisme berpandangan
bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk
berdasarkan gen orangtuanya. Sehingga, kepribadian ditentukan oleh pembawaan
yang sudah dibawa sejak lahir.[18] Berdasarkan pandangan ini, maka baik dan
buruknya kepribadian seseorang ditentukan oleh pembawaan.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab
lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi kepribadian seseorang.
Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalu anak mempunyai pembawaan
kepribadiaan jahat, dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai
pembawaan kepribadian baik, dia menjadi orang yang baik. Kepribadian buruk dan
baik ini tidak dapat dirubah oleh kekuatan lingkungan.
Berkenaan dengan inti ajaran aliran nativisme, dapat
dipahami bahwa aliran ini bersifat passimisme, karena para penganutnya
menunjukkan sifat pesimistis terhadap kemampuan manusia dalam mengembangkan
kepribadiannya yang dibawa sejak lahir. Dengan kata lain, kepribadian anak
seluruhnya ditentukan oleh hukum-hukum pewarisan.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur
Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh yang lain seperti J.J. Rousseau seorang
ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa
pentingnya “inti” privasi atau jati diri kepribadian manusia.[19] Dengan begitu
aliran ini hampir mirip dengan keyakinan agama budaya yang menyatakan bahwa
arwah serta pembawaan nenek moyang dapat kembali pada garis keturunannya
(reinkarnasi). Arwah yanng baik mereinkarnasi pada keturunannya untuk memberikan
petunjuk pada manusia yang hidup.
Berdasarkan uraian di atas, maka aliran nativisme pada
dasarnya terlepas dari konsep fitrah karena melepaskan diri dari ikatan agama
yang transedental. Manusia menurut aliran ini seakan-akan mentuhankan orantua dan
nenekmoyang, sebab dialah sumber utama pewarisan kepribadian.
2. Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran
nativisme. Empirisme (empiri artinya, pengalaman), dan disebut juga aliran
environmentalisme, yaitu suatu aliran yang menitikberatkan pandangan-nya pada
peranan lingkungan sebagai penyebab timbulnya kepribadian.[20] Aliran ini tidak
mengakui adanya pembawaan atau potensi kepribadian yang di bawah manusia sejak
kelahirannya. Dengan kata lain bahwa anak manusia itu lahir dalam keadaan suci
dalam pengertian anak bersih tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini
berpandangan bahwa kepribadian seseorang besar pengaruhnya pada faktor
lingkungan.
Asumsi psikologis yang mendasari aliran empirisme ini,
adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki pembawaan
kepribadian. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat ditulisi apa
saja yang dikehendaki. Perwujudan kepribadian ditentukan oleh luar diri yang
disebut lingkungan, dengan kiat-kiat rekayasa yang bersifat edukatif. Dapat
diilustrasikan bahwa setiap bayi, menangis bila merasa lapar, haus, dan sakit
yang berarti bahwa bayi tersebut dalam keadaan kosong yang memerlukan bantuan,
dan kemudian kepribadian menjadi tumbuh dan berkembang disebabkan oleh pengaruh
lingkungan dalam proses kehidupannya.
Bilamana aliran nativisme disebut aliran pasimesme, maka
aliran empirisme ini dapat disebut sebaga aliran optimisme. Sebab, inti
ajarannya adalah menganggap kepribadian menjadi akan lebih lain apabila
dirangsang oleh usaha-usaha sekuat tenaga. Kepribadian manusia bukanlah sebuah
robot yang diprogram secara deterministik, apalagi menyerah pada pembawaan
nasibnya. Dengan aliran empirisme ini telah menyumbangkan pemikiran tentang
bagaimana manusia agar segara membentuk kepribadiannya yang ideal.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof
Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”,
yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih.[21] Pengalaman
empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan
perkembangan kepribadian manusia.
3. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya
bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa corak
kepribadian ditentukan oleh dasar (bakat, keturunan) dan lingkungan,
kedua-duanya memainkan peranan penting. Konvergensi sebagai satu aliran teori,
menekankan adanya hubungan antara faktor pembawaan sejak lahir dan faktor
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Itu berarti bahwa aliran
komvergensi ini, mempertemukan teori nativisme dan empirisme.
Manusia secara pribadi telah memiliki bakat masing-masing
yang dibawanya sejak lahir (fitrah), yang kemudian karena pengaruh lingkungan
yang sesuai dengan kebutuhan bakat tadi akan mengalami perkembangan. Akan
tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal
mempunyai bakat untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai
kemungkinan ini tidak akan menjadi aktual (menjadi kenyataan), jika sekiranya
anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Dengan
begitu, hereditas tidak akan berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan
dari faktor lingkungan. Sebaliknya, rangsangan lingkungan tidak akan membina
kepribadian yang ideal tanpa didasari oleh faktor hereditas. Ringkasnya,
penentuan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh kerja yang integral antara
faktor internal dan eksternal.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern
(1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa
seorang anak dilahirkan di dunia disertai pembawaan baik maupun pembawaan
buruk.[22] Kepribadian baik yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak
berkembang dengan baik pula tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan kepribadian itu. Jadi seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan
muslim, namun bila tidak didukung oleh lingkungan yang bersangkutan tidak akan mampu
pula mewujudkan dirinya ke dalam prilaku muslim.
Jadi inti aliran konvergensi ini, adalah bahwa kepribadian
seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor warisan saja, dan tidak juga
ditentukan oleh faktor lingkungan. Kepribadian seseorang akan ditentukan oleh
hasil perpaduan antara kedua faktor tersebut, hasil kerjasama antara
faktor-faktor yang ada pada diri seseorang, dan faktor-faktor di luarnya akan
bermuara suatu pribadi yang ideal.
Sejalan dengan itu, Nasir Budiman menyatakan bahwa manusia
dengan segala perwatakan dan ciri-ciri pertumbuhannya adalah perwujudan dua
faktor, yaitu faktor warisan dan lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi
manusia dan berintegrasi denganya sejak hari pertama kelahirannya sampai akhir
hayatnya.[23]
Berdasarkan pada uraian-uraian di atas, kelihatan bahwa
konsep kepribadian perspektif Islam akan lebih dekat pada aliran kovergensi
yang tidak mengabaikan konsep fitrah, walaupun tidak sama karena perbedaan
paradigmanya. Adapun kedekatannya, adalah bahwa Islam menegaskan kepribadian
manusia memiliki fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat bawaan,
meskipun semua itu masih merupakan potensi yang aumiy mengandung berbagai
kemungkinan, seperti yang dijelaskan oleh al-T :
Betapapun juga, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu
yang kaku hingga tidak bisa dipengaruhi. Bahkan ia bisa dilenturkan dalam batas
tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala
anasirnya. Lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting.[24] Ditegaskan pula dalam sebuah hadis ;
عَنْ اَبيِ هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
النَّبِيُّ e : كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبْوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ[25]
Artinya:
‘Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw. bersabda: setiap anak
yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan
ia Yahudi, Nasrani atau Majusi’. (HR. Muslim)
Konsep fitrah dalam hadis di atas, dan sebagaimana pula yang
telah dijelaskan bahwa, ia mengandung arti potensi dasar yang dibawa oleh
setiap manusia sejak lahir. Potensi ini adalah kepribadian Islam, namun potensi
kepribadian tersebut kadangkala tidak bisa berkembang karena keadaan lingkungan
yang tidak mendukung. Seorang anak memungkinkan saja berkepribadian Yahudi atau
Nasrani bila tidak ada usaha orangtua (lingkungan) yang mengarahkannya.
Dapat dirumuskan bahwa Islam mengakui faktor keturunan
(bakat, pembawaan) dan faktor lingkungan (pengalaman) sebagai penentu baik dan
buruknya kepribadian. Akan tetapi di samping kedua faktor tersebut masih ada
lagi faktor lain yang cukup berpengaruh, yaitu hidaya Allah swt. Bahkan faktor
hidayah ini sering lebih dominan dalam menentukan sosok kepribadian. Seorang
anak, yang sudah terbiasa beraklak buruk sejak kecil, tidak menunaikan
kewajiban agama, namun pada suatu saat, setelah ia mendapat hidayah Allah swt,
ia menjadi anak shaleh dan sangat tampak dalam perilakunya, mūdah akhlāq
al-mah.
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Kepribadian
Hukum-hukum genase (pertumbuhan/perkembangan) dapat
dibedakan dalam tiga jenis, yakni; hukum kesatuan organis,[26] hukum tempo,[27]
dan hukum konvergensi.[28] Ketiga hukum ini, berlaku juga pada setiap
kepribadian manusia. Namun keberlakuan ketiga hukum tersebut pada setiap
pribadi memiliki perbedaan dengan individu-individu lainnya. Dengan demikian,
masalah pertumbuhan dan perkembangan erat kaitannya dengan masalah kepribadian
manusia.
Dalam berbagai literatur, ditemukan rumusan bahwa batasan
makna pertumbuhan sering diartikan sama dengan perkembangan, sehingga kedua
istilah itu penggunaannya seringkali dipertukarkan untuk makna yang sama. Ada
pakar yang suka menggunakan istilah pertumbuhan saja dan ada yang suka
menggunakan istilah per-kembangan saja. Terkait dengan itu, maka penulis dalam kajian
ini merumuskan bahwa istilah pertumbuhan diberi makna dan digunakan untuk
menyatakan perubahan-perubahan ukuran fisik, sedang istilah perkembangan diberi
makna dan digunakan untuk menyatakan terjadinya perubahan-perubahan aspek
psikis. Aspek fisik dan psikis ini, merupakan dua unsur yang tergabung dalam
diri manusia, sehingga terbentuk kepribadiannya.
Piaget sebagaimana ditulis Sarlito bahwa empat masa
per-kembangan manusia, yakni (1) masa sensori motor sejak usia 0,0 sampai 2,5
tahun; (2) masa pra-operasional, usia 2,0 sampai 7,0 tahun; (3) masa konkreto
prerasional, usia 7,0 sampai 11,00 tahun; dan (4) masa operasional, usia 11,0
sampai masa dewasa.[29] Selanjutnya, Kretschmer sebagaimana yang ditulis Ahmad
Musa mengemukakan bahwa dari lahir sampai dewasa seseorang melewati empat fase
dengan beberapa ciri khas, yakni :
- Dari usia 0,0 sampai kira-kira 3,0 tahun disebut fillings periode I, pada masa isi anak kelihatan pendek.
- Dari kira-kira 3.0 sampai kira-kira 7,0 tahun disebut streckungs periode I, pada masa ini anak kelihatan langsung.
- Dari kira-kira 7,0 sampai kira-kira 13,0 tahun disebut filling periode II, pada masa ini anak kembali kelihatan pendek gemuk.
- Dari kira-kira 13,0 sampai kira-kira 20,0 tahun disebut streckungs periode II, pada masa ini anak kembali langsing.[30]
Sejalan dengan itu, Sumadi Suryabrata merumuskan bahwa tiap
fase dari kelahiran seseorang, ditentukan atas dasar cara-cara reaksi bagian
tubuh tertentu. Fase-fase tersebut, adalah :
- Fase oral, usia 0,0 sampai kira-kira 1,0 tahun. Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok daripada aktivitas dinamis.
- Fase anak, kira-kira usia 1,0 sampai kira 3,0. Pada fase ini dorongan dan tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
- Fase falis, kira-kira 3,0 tahun sampai kira-kira 5,0 tahun. Pada fase ini alat-alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
- Fase latent, kira-kira 5,0 sampai kira-kira 12,0 tahun atau 13 tahun. Pada fase ini implus-implus cenderung untuk ada dalam keadaan tertekan, atau mengendap.
- Fase pubertas, kira-kira 12,0 sampai kira-kira 20,0. Pada fase ini implus-implus menonjol kembali.
- Fase genital, sejak 20,0 sampai tua.[31]
Pembagian masa perkembangan yang dikemukakan para ahli
berbeda-beda, perbedaan itu disebabkan oleh kebutuhan setiap individu pada
hakikatnya akan mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan nonfisik yang yang
meliputi aspek-aspek intelek, emosi, sosial, bahasa, bakat khusus, nilai dan
moral serta sikap.[32] Berikut ini diuraikan pokok-pokok pertumbuhan dan
perkembangan aspek-aspek tersebut yang juga merupakan aspek kepribadian setiap
manusia.
1. Pertumbuhan Fisik Manusia
Pendapat umum menyatakan bahwa pertumbuhan kepribadian
manusia dalam arti pertumbuhan fisiknya, dimulai dari proses pembuahan, yakni
pertemuan sel telur dan sperma yang membentuk suatu sel kehidupan, yang disebut
embrio. Embrio manusia yang telah berumur satu bulan, berukuran sekitar
setengah sentimeter. Pada umur dua bulan ukuran embrio itu membesar menjadi dua
setengah sentimeter dan disebut janin atau “fetus”. Baru setelah satu kemudian
(tiga bulan umur kandungan), janin atau fetus tersebut telah berbentuk
menyerupai bayi dalam ukuran kecil.[33]
Pertumbuhan fisik manusia berbeda dengan pertumbuhan hewan.
Demikian anak hewan itu dilahirkan, dalam waktu yang relatif singkat ia segera
dapat berjalan mengikuti induksi untuk mencari makan. Tetapi tidak demikian
halnya manusia. Pada awal setelah bayi itu dilahirkan, respon terhadap segala
rangsangan dari luar dirinya dilakukan secara refleks dan belum
terkordinasikan.
Pertumbuhan fungsi biologis stiap manusia memiliki pola dan
urutan yang teratur, banyak psikologis menyatakan bahwa pertumbuhan fisik anak
memiliki pola yang sama dan menunjukkan ketaraturan. Dari lahir seorang bayi
yang hanya mampu menggerakkan tangannya secara reflektif ke arah kepalanya,
setelah umur satu bulan mulai mampu berguling, seterusnya pada umur dua bulan
mulai telungkup, merangkak pada umur tiga bulan, duduk dengan sedikit bantuan,
duduk sendiri (tanpa bantuan), berdiri, dan melangkah satu dua langkah, dan
kemudian mampu berjalan sendiri setelah anak itu berumur lima belas bulan.[34]
Pola dan urutan pertumbuhan fungsi fisik ini diikuti oleh perkembangan
kemampuan mental spritual secara terus terus menerus, yang pada gilirannya
nanti ia akan sampai menjadi manusia yang berkepribadian sempurna.
2. Perkembangan Nonfisik
Seiring dengan pertumbuhan kepribadian manusia dalam aspek
fisiknya, manusia juga mengalami perkembangan nonfisik yang cukup siginifikan.
Ini berarti bahwa pekembangan kepribadian manusia secara nonfisik bersamaan
dengan perkembangan fisiknya. Perkembangan-perkembangan kepribadian seperti ini
termasuk di dalamnya adalah :
a. Perkembangan intelek
Intelek atau daya pikir manusia berkembang sejalan dengan
pertumbuhan saraf otak. Karena pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak,
maka kemampuan intelektual yang lazim disebut dengan istilah lain kemampuan
berfikir, dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya
secara baik.[35] Perkembangan lebih lanjut tentang intelek ini ditunjukkan pada
prilakunya, yaitu tindakannya sampai dengan kemampuannya menarik ke-simpulan
dan keputusan. Tindakan ini, terus berkembang mengikuti kekayaan
pengetahuannya, sehingga pada saatnya seseorang akan ber-kemampuan melakukan
peramalan atau prediksi, perencanaan, dan berbagai kemampuan analisis dan
sistesis. Perkembangan berfikir seperti ini, dikenal pula sebagai perkembangan
kognitif.[36]
b. Perkembangan emosi
Rasa dan perasaan merupakan salah satu potensi khusus dalam
kepribadian manusia. Dalam hidupnya atau dalam proses perkembangan kepribadian
manusia, banyak hal yang dibutuhkannya. Dalam kehidupan ini, sering terdapat
persamaan-persamaan kebutuhan antara individu yang satu dengan lainnya, dan
dengan demikian suatu saat akan timbul persaingan antara individu yang
sama-sama ingin memenuhi kebutuhannya. Sebagai akibat ini semua, akan
melahirkan perasaan emosi.
Emosi merupakan suatu keadaan kepribadian yang disebut
psychosomatics sebagai reaksi total terhadap segala stimuli yang biasanya
dibarengi dengan perubahan-perubahan jasmani yang hebat. Emosi dapat merupakan
suatu keadaan bergolaknya perasaan sebagai reaksi terhadap segala stimuli
(dalaman dan luaran). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa emosi melingkupi,
perasaan yang mendalam (inner feeling) dan perasaan yang bergolak.
c. Perkembangan sosial
Pada dasarnya manusia secara pribadi adalah makhluk sosial.
Setiap orang memerlukan orang lain, dan dalam proses pertumbuhan juga
perkembangan setiap orang tidak dapat berdiri-sendiri. Setiap orang memerlukan
lingkungan dan akan memerlukan manusia lainnya. Sejalan dengan itu, setiap
orang sejak bayi mulai berkenalan dengan lingkungannya. Pertama-tama ia
mengenal ibunya, kemudian ayah dan saudara-saudaranya. Selanjutnya manusia yang
dikenalnya semakin banyak dan amat heterogen. Akhirnya, manusia mengenal
kehidupan bersama, kemudian bermasyarakat atau berkehidupan sosial. Dalam
perkembangan sosialnya, anak belum berkembang dengan sempurna. Selama
perkembangan anak dalam ruang sosial dan kebudayaan tertentu akan mengalami
berbagai hambatan. Perkembangan tingkah laku sosial berarti perkembangan untuk
mencapai kematangan dengan lingkungan sosial. Tercakup dalam perkembangan ini
adalah perubahan dalam minat dan keinginan serta pemilihan teman dan sebagainya.
Pencapaian kematangan sosial terlaksana dengan sesama manusia, antara pribadi
dan manusia lainnya. Dalam per-kembangannya, setiap orang akhirnya mengetahui
bahwa manusia itu saling membantu dan dibantu, memberi dan diberi.
d. Perkembangan bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi dan dengan bahasa manusia
dapat mengekspresikan isi jiwanya, seperti cita-cita, perasaan dan sebagainya.
Bahasa merupakan alat untuk menyampaikan ide tertentu dan bahasa pada umumnya
adalah media untuk bertindak. Bahasa adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada
manusia yang merupakan media untuk melahirkan pikiran, perasaan dan kehendak
kepada orang lain. Kecakapan berbicara/berbahasa adalah merupakan hal yang
esensial dan merupakan kodrat manusia yang diperkembangkan oleh belajar dan interaksi
dengan orang lain (antar sesama manusia). Bahasa yang pertama kali digunakan
oleh manusia sejak lahirnya, adalah tangisan. Bayi yang lahir sambil menangis
adalah menunjukkan gejala kehidupan dan sebagai wahana komunikasi. Dengan
tangisan bayi, merupakan isyarat yang disampaikannya bagi orang lain.[37] Dalam
perkembangan awal berbahasa lisan, bayi menyampaikan isi pikiran atau
perasaannya dengan tangis dan atau ocehan. Ia menangis atau mungkin menjerit
jika tidak senang atau sakit dan mengoceh atau merabah jika sedang senang.
Gerakan-gerakan seperti ini sangat terkait dengan perkembangan bahasa, karena
dengan gerakan-gerakan tersebut orang yang berada di sekitarnya akan memahami
isyarat yang disampaikan oleh bayi. Demikian seterusnya sampai bayi itu bisa
berbahasa dengan lisan secara baik.
[1]Lihat skripsi ini, bab I, sub bab Pengertian Judul, h. 8
[2]Simpson, D.P., Cassell's Latin Dictionary (New York: Mac
Millan Publishing Co, 1982), h. 442. Bandingkan dengan Agus Sujanto, et
all, Psikologi Kepribadian (Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 10.
[3]Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah
Pendekatan Psikologis (Cet.I; Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 72.
[4]M. Napis Djueni, Kamus Kontemporer Istilah
Politik-Ekonomi Indonesia Arab (Cet. I; Bandung: Teraju, 2005), h. 218
[5]Lihat misalnya QS. al-Baqarah (2): 48, 123, 233; QS. Ali
Imrān (3): 25, 30; QS. al-Māidah (5): 32; QS. al-An'ām (6): 70; QS. Yūnus
(10): 30. Lebih ammad Fū'ad 'Abd. Al-Bāqy, lanjut lihat Muh *al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfāz al-Qur'an al-Karīm (Bairūt: Dār al-Masyriq, 1977), h. 881.
[6]Imām Abū H āmid al-Ghazāli, yā’ Ulūm al-Dīn, Ih alabi,
1336 H), h. 178 juz V (Kairo: al-Bāb al-H
[7]M. Napis Djueni, loc. cit. Luwis Ma'luf, Al-Munjid Fi
al-Lughah (Cet. II; Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 378. Ahmad Warson
al-Munawir, Kamus Al-Munawir; Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), h. 701.
[8]Batasan Sigmund Freud tentang kepribadian, dapat dilihat
dalam C.P. Chaplin, Dictionary of Personality diterjemahkan oleh Kartini
Kartono dengan judul Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 362
[9]Abū H"ammad bin Fāris Zakariyah, usayn Muh Mu’jam
Maqāyis al-Lugah, juz I (Cet. III; Mesir: Mus tā fa al-Bāby al-H"alaby wa
Awlāduh, 1971), h. 90.
[10]Muh ammad Ibn Mukram Ibn Mażūr, Lisān al-Arab, juz XV
(Cet. I; Bairūt: Dār al-Fikr, 1990), h. 181.
[11]Taqy al-Dīn Ibn Taymiyah, Iqtid ā al-Sirāt al-Mustaqīm
(Bairūt: Dār al-Fikr, t.th.), h. 454.
[12]Lihat Abū al-Fad*l Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mah mūd
al-Alūsi al-Bagdādi, Rūh al-Ma’āny fī Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm wa al-Sab’
al-Maśāni, juz III (Bairūt: Dār al-Fikr, 1993), h. 171-172.
[13]M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi; Al-Quran dan
Dinamika Kehidupan (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 12-13.
[14]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1992), h. 50.
[15]M. Quraish Shihab, op. cit., h. 15. Masih M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesam, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume I
(Cet. VI; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 448-449
[16]Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan
(Yogyakarta: Rake Press, 1984), h. 85
[17]Lihat Mohammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan (Surabaya:
Usaha Nasional, 1986), h. 299
[18]Umar Tirharahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan
(Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 196
[19]Sumadi Suryabrata, op. cit., h. 86
[20]Ibid. 88. Lihat juga Mohammad Noor Syam, op. cit., h. 41
[21]Umar Tirharahardja dan La Sula, op. cit., h. 194
[22]Umar Tirharahardja dan La Sula, op. cit., h. 198
[23]M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an
(Cet.I; JakartaL Madani Press, 2001), h. 49
[24]aumiy al-Syabāni, ammad al-T ‘Umar Muh Falsafat
al-Tarbiyat al-Islāmiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul
Falsafah Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 138
[25]Imām Ibn H usain Muslim bin H ajjāj Ibn Muslim
al-Qusyairi al-Naisabūri, al-Jā ah mi Sīh , Juz VI (Bairut: Dār al-Ma’ārif,
t.th.), h. 530.
[26]Hukum kesatuan organis artinya anak berkembang secara
menyeluruh menurut kesatuan organ-organnya, bukan perkembangan jumlah
elemen-elemen yang berdiri sendiri. Hukum ini mengakui bahwa perekmbangan
fisikis anak saling pengaruh mempengaruhi. H. M. Arifin, Hubungan Timbal blaik
Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 39
[27]Hukum tempo menyatakan bahwa tiap anak mempunyai tempo
perkembangan dan pertumbuhan sendiri. Ada anak di masa kecilnya dalam
perkembangan/pertumbuhan cepat, tetapi setelah dewasa lambat. Misalnya ada anak
yang cepat berjalan tapi terlambat bicara atau sebaliknya atau pada masa
kanak-kanak kemampuan kecerdasan nya tinggi setelah dewasa menjadi
rendah/menurun. Ibid.
[28]Hukum konvergensi adalah bahwa anak bertumbuh dan
berkembang dalam dua faktor yang mempengaruhi, yakni pengaruh dari dalam dan
dari luar. Pengaruh dari dalam atau faktor yang tidak disengaja yang berupa
pembawaan atau bakat, dan sifat keturunan fisik atau psikis. Sedangkan pengaruh
dari luar atau faktor lingkungan dan biasa juga disebut faktor disengaja
meliputi pendidikan, lingkungan di mana ia hidup, dan pengalaman atau
pergaulan. Uraian lebih lanjut, lihat ibid., h. 40.
[29]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Cet.II;
Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 81.
[30]Ahmad Musa, Psychology (Cet.II; Bandung: 1979), h. 60.
[31]Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan
(Yogyakarta: Rake Press, 1984), h. 63.
[32]H. Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan
Peserta Didik (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 18
[33]Ibid.
[34]Ibid., h. 21
[35]H. Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, op. cit., h. 23
[36]Uraian lebih lanjut, lihat Sarlito Wirawan Sarwono, op.
cit., h. 81
[37]Lihat Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Cet. VII;
Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 7
Terima kasih
ReplyDeleteijin copy