Artikel Mutu Pendidikan
Pemahaman dan pandangan tentang mutu
pendidikan selama ini sangat beragam. Orangtua memandang pendidikan yang
bermutu sebagai lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan
genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah, dan seterusnya. Para
ilmuwan memandang pendidikan bermutu sebagai sekolah yang siswanya
banyak menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di tingkat
nasional, regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai pandangan yang
berbeda lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberikan mata
pelajaran bahasa asing bagi anak-anaknya. Orang kaya tentu memiliki pandangan
yang berbeda pula. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diperoleh
anaknya dengan membayar uang sekolah yang setinggi langit untuk memperoleh
berbagai paket kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan
sekolah telah lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus,
kelas unggulan. Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga muncul
bak jamur di musim penghujan, seperti boarding school, full day
school, sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam, dan
sekolah berwawasan internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk
menunjukkan aspek
mutu pendidikan yang akan diraihnya.
Lalu, bagaimana sesungguhnya pendidikan
yang bermutu tersebut? Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan secara sekilas
tentang pandangan UNESCO tentang beberapa dimensi
mutu pendidikan. Uraian tentang dimensi mutu pendidikan itu tertuang dalam
buku EFA Global Monitoring Report 2005 atau Laporan Pemantauan Global
Pendidikan Untuk Semua. Setiap tahun, UNESCO menerbitkan laporan tentang
perkembangan pendidikan, baik pendidikan formal dan pendidikan informal, di
berbagai belahan dunia.
Dalam bentuk diagramtis
dimensi mutu pendidikan digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan diagram tersebut, tampak
bahwa setidaknya ada lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan.
Pertama, karakteristik pembelajar (learner
characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai
masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam
teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik
atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude),
kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk
bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior
knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning)
terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta didik yang
sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah
yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang
berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home),
kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya.
Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.
Kedua, pengupayaan masukan (enabling
inputs)
Ada dua macam masukan yang akan
mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan
sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga
kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang
akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar
mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar,
seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning
materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah,
termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan
fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang
digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical
infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang
tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang
sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Ketiga, proses belajar-mengajar (teaching
and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai
kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini
terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan
yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta didik,
siapa yang akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan tanpa
kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses belajar
mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi
faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar
dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode mengajar yang digunakan,
(3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik, dan (4)
jumlah peserta didik dalam satu kelas.
Ruang kelas di Indonesia sangat kering
dengan media dan alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering
menyebutkan bahwa ruang kelas kita ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika
diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka
bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut.
Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini. Proses
belajar mengajar di ruang kelas kita sangat kering dari penggunaan teknik
penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga
yang menyenangkan. Dampaknya, dapat diterka, yaitu hasil belajar yang belum
memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses
belajar mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni
kualifikasi dan kompetensi guru. Setengah guru kita belum memenuhi standar
kualifikasi. Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak
layak’. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa semua masalah bersumber dari masalah kesejahteraan. Memang,
kesejahteraan guru menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai
profesi, selain (1) memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses
pendidikan dan pelatihan, (3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya
organisasi profesi, (5) keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai
(Suparlan, 2006).
Keempat, hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang
diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari
pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan
lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan
ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang
siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam
memberikan pelatihan.
Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy),
berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills) Ini
memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan
emosional dan sosial (emotional dan social intelligences),
nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam
kecerdasan, Howard Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan
paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan
bidang yang paling cocok dengan bakatnya” (Daniel Goleman, 2002: 49, dalam
Suparlan, 2004: 39). Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai
dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan
tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang
diperlukan untuk memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian
bangsa. Dalam perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head,
heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang mengingatkan bahwa “Dari pohon
rambutan jangan diminta berbuah mangga, tapi jadikanlah setiap pohon mangga itu
menghasilkan buah mangga yang manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua itu pada
dadarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional “…. berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Kelima, konteks (contexts) atau
lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan
tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau
lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial,
ekonomi, dan budaya, sebagai berikut:
- Economics and labour market conditions in the community atau kondisi pasar ekonomi dan pasar dalam masyarakat.
- Socio-cultural and religious factors atau faktor religius dan sosip-kultural.
- Educational knowledge and support infrastructure atau pengetahuan dan infrastruktur yang mendukung dunia pendidikan.
- PUBLIC RESOURCES AVAILABLE FOR EDUCATION atau ketersediaan sumber-sumber masyarakat untuk pendidikan.
- Competitiveness of the teaching profession on the labour market atau daya saing profesi mengajar pada pasar tenaga kerja.
- National governance and management strategies atau strategi manajemen dan tata kelola pemerintahan.
- Philosophical standpoint of teacher and learner atau pandangan filosofis guru dan peserta didik.
- Peer effects atau pengaruh teman sebaya.
- PARENTAL SUPPORT atau dukungan orangtua atau keluarga.
- Time available for schooling and home works atau ketersediaan waktu untuk sekolah dan PR.
- National standards atau standar-standar nasional.
- PUBLIC EXPECTATIONS atau harapan masyarakat.
- Labour market demands permintaan pasar tenaga kerja.
- Globalization atau globalisasi.
Pada awalnya,
peran orangtua (rumah) dan keluarga belum dipandang sebagai dimensi yang
benar-benar berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Sekarang dukungan orangtua
menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik.
Dalam kajian tentang sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua
siswa dan masyarakat menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.
Hasil lima kajian tentang sekolah efektif
menjelaskan tentang faktor-faktor dalam sekolah efektif dapat dijelaskan dalam
tabel berikut:
Tabel 1 Hasil Lima Studi Tentang Sekolah
Efektif
Purkey & Smith,
1983
|
Levine & Lezotte, 1990
|
Scheerens,
1992
|
Cotton,
1995
|
Sammons, Hillman & Mortimore, 1995
|
·
Strong leadership
|
·
Outstanding leadership
|
·
Educational leadership
|
·
School management and organization, leadership and school inprovement,
leadership and planning
|
·
Professional leadership
|
·
Clear goals on basic skills
|
·
Focus on central learning skills
|
·
-
|
·
Planning and learning goals and school-wide emphasis on learning
|
·
Concentration on teaching and learning
|
·
Orderly climate, achievement-oriented policy, cooperative atmosphere
|
·
Productive climate and culture
|
·
Pressure to achieve, consensus, cooperative planning, orderly atmosphere
|
·
Planning and learning goals, curriculum planning and development
|
·
Shared vision and goals, a learning environment, positive reinforcement
|
·
High expectations
|
·
High expectations
|
·
-
|
·
Strong teacher-student interaction
|
·
High expectation
|
·
Frequent evaluation
|
·
Appropriate monitoring
|
·
Evaluative potential of the school, monitoring of pupil progress
|
·
Assessment (district, school, classroom level)
|
·
Monitoring progress
|
·
Time on task, reinforcement, streaming
|
·
Effective instructional arrangements
|
·
Structured teaching, effective learning time, opportunity to learn
|
·
Classroom management, organization and instruction
|
·
Purposeful teaching
|
·
In-service training/ staff development
|
·
Practice-oriented staff development
|
·
-
|
·
Professional development and collegial learning
|
·
A learning organization
|
·
-
|
·
Slient parental involvement
|
·
Parent support
|
·
Parent-community involvement
|
·
Home-school partnership
|
·
-
|
·
-
|
·
External stimuli to make schools effective
· Phisical and material school characteristics · Teacher experience · School context characteristics |
·
Distinct school interactions
· Equity · Special programmes |
·
Pupil rights and responsibilities
|
Sumber: EFA Global Monitoring
Report 2005, hal. 66
Tabel tersebut menjelaskan bahwa
salah satu faktor sekolah efektif dikenal sebagai ‘keterlibatan orangtua’,
‘dukungan orangtua’, ‘keterlibatan orangtua-msyarakat’, atau ‘hubungan
keluarga-sekolah’. Dari beberapa faktor sekolah efektif tersebut, hasil studi
di negara maju menunjukkan adanya lima faktor yang paling berpengaruh terhadap
efektivitas suatu sekolah (EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66),
yaitu:
- strong eduational leadership -> terkait dengan pendidik dan tenaga kependidikan (masukan);
- emphasis on acquiring basic skills -> terkait dengan kurikulum (masukan;
- an orderly and secure environment -> terkait dengan konteks (lingkungan);
- high expectations of pupil attainment -> terkait dengan peserta didik (masukan kasar);
- frequent assessment of pupil progress -> terkait dengan proses belajar-mengajar (proses).
Apabila
dikaitkan antara kelima faktor sekolah efektif tersebu dengan lima dimensi mutu
pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya, tampak nyata bahwa kelima faktor
tersebut dalam tulisan ini juga dikenal sebagai dimensi-dimensi
mutu pendidikan. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa sekolah efektif
tidak lain dan tidak bukan adalah juga sebutan untuk pendidikan yang bermutu.
Sudah tentu juga ditambah dengan faktor-faktor sekolah efektif lainnya,
termasuk peran dan dukungan orangtua dan masyarakat, yang diwadahi dalam
lembaga yang dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan
di muka, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) mutu
pendidikan memiliki lima dimensi yang saling terkait, (2) lima dimensi mutu
pendidikan pada hakikatnya juga merupakan faktor-faktor yang membentuk sekolah
efektif, (3) sekolah yang efektif, dengan kata lain, dapat disebut sebagai
sekolah yang bermutu, (3) dukungan orangtua dan masyarakat terhadap upaya
peningkatan mutu pendidikan disalurkan melalui wadah lembaga sosial yang kini
dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Jakarta, 21 Februari 2007.
Bahan
Pustaka
Dedi
Supriadi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan, dan
Perjuangannya Sejak Zaman Penjajahan Hingga Era Reformasi. Jakarta:
Direktorat Tenaga Kependidikan.
Goleman,
Daniel. 2002. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.
http://www.suparlan.com
http://www.swopnet.com
Suparlan.
2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan
Implementasi. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan.
2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan.
2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat.
No comments:
Post a Comment