si Buku Pelajaran Akan Dikendalikan Pemerintah
03/19/2013
(All day)
Bandung - Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menegaskan bahwa isi buku-buku pelajaran
mulai dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) akan
sungguh-sungguh dikendalikan oleh Pemerintah. "Akan dikendalikan betul,
bukan pada percetakannya tapi pada kontennya, kita tidak ingin ada kesalahan
pada buku-buku yang ada," ujarnya di hadapan sejumlah wartawan di Bandung,
Sabtu (16/3) kemarin.
Buku-buku pelajaran yang akan digunakan
sebagai pegangan siswa maupun guru, akan ditulis oleh sebuah tim, bukan oleh
satu atau dua orang saja, ujar mantan Menkominfo tersebut. "Selain itu
nantinya akan ada internal reviewer termasuk Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), dan juga independent reviewer," kata Mendikbud.
Hal tersebut untuk memastikan dari segi konten tidak ada masalah, metodenya
benar, dan urutan materinya tidak ada yang hilang.
Menanggapi kasus-kasus yang terjadi
beberapa tahun terakhir ini dimana isi buku pelajaran kurang sesuai dengan
norma kesusilaan atau mengandung materi yang tidak tepat untuk usia siswa,
Menteri Nuh menegaskan hal tersebut tidak akan terjadi lagi.
"Yang banyak diprotes kemarin itu kan
lembar kerja siswa (LKS)," ujarnya. Oleh karena itu dalam kurikulum 2013,
buku-buku pelajaran yang digunakan akan sungguh-sungguh dikendalikan dan
diawasi. "Sehingga tidak akan ada lagi kasus Maria Ozawa atau Kisah Bang
Maman seperti yang terjadi kemarin," kata Mendikbud menambahkan.
Terkait distribusi buku dalam implementasi
Kurikulum 2013 tahun pelajaran mendatang, Mendikbud memastikan tidak akan ada
pungutan kepada sekolah. "Pemenang tender pencetakan buku nantinya
bertanggungjawab mengirim buku-buku itu sampai ke sekolah, bukan sampai ke
dinas," ujar Menteri Nuh. Selain itu karena sekolah tempat implementasi
kurikulum 2013 sudah ditentukan dengan disertai data jumlah siswa, seharusnya
tidak akan terjadi salah kirim dan salah jumlah, ujar Mendikbud. (NW)
Artikel Pendidikan
Artikel Pendidikan merupakan sebuah tulisan yang memberikan informasi mengenai bidang pendidikan baik formal maupun non formal. Sekedar untuk mengingatkan Anda tentang pendidikan berikut ini saya paparkan tentang filosofi pendidikan dan fungsi pendidikan.
Artikel Pendidikan merupakan sebuah tulisan yang memberikan informasi mengenai bidang pendidikan baik formal maupun non formal. Sekedar untuk mengingatkan Anda tentang pendidikan berikut ini saya paparkan tentang filosofi pendidikan dan fungsi pendidikan.
Filosofi
Pendidikan
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti
dilakukan banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam
kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih
berarti daripada pendidikan formal. Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran
yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka,
walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
Fungsi
Pendidikan
Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan
fungsi yang nyata (manifes). Mempersiapkan anggota masyarakt untuk
mencari nafkah, fungsi laten lembaga sebagai wadah pendidikan, melalui
pendidikan di sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam
mendidik anak kepada sekolah.
Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan
di masyarakat. Hal ini tercermin dengan danya perbedaan pandangan antara
sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap
terbuka.
Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada
para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status
yang ada dalam masyarakat. Memilih dan mengajarkan peranan sosila.
Artikel Mutu Pendidikan
Pemahaman dan pandangan tentang mutu
pendidikan selama ini sangat beragam. Orangtua memandang pendidikan yang
bermutu sebagai lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan
genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah, dan seterusnya. Para
ilmuwan memandang pendidikan bermutu sebagai sekolah yang siswanya
banyak menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di tingkat
nasional, regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai pandangan yang
berbeda lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberikan mata pelajaran
bahasa asing bagi anak-anaknya. Orang kaya tentu memiliki pandangan yang
berbeda pula. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diperoleh anaknya
dengan membayar uang sekolah yang setinggi langit untuk memperoleh berbagai
paket kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan sekolah
telah lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, kelas
unggulan. Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga muncul bak
jamur di musim penghujan, seperti boarding school, full day school,
sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam, dan sekolah berwawasan
internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk menunjukkan aspek mutu
pendidikan yang akan diraihnya.
Lalu, bagaimana sesungguhnya pendidikan
yang bermutu tersebut? Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan secara sekilas
tentang pandangan UNESCO tentang beberapa dimensi
mutu pendidikan. Uraian tentang dimensi mutu
pendidikan itu tertuang dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005
atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan Untuk Semua. Setiap tahun, UNESCO
menerbitkan laporan tentang perkembangan pendidikan, baik pendidikan formal dan
pendidikan informal, di berbagai belahan dunia.
Dalam
bentuk diagramtis dimensi mutu pendidikan digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan diagram tersebut, tampak
bahwa setidaknya ada lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan.
Pertama, karakteristik pembelajar (learner
characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai
masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam
teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik
atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude),
kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk
bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior
knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning)
terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta didik yang
sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah
yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang
berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home),
kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya.
Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.
Kedua, pengupayaan masukan (enabling
inputs)
Ada dua macam masukan yang akan
mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan
sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga
kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang
akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar
mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar,
seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning
materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah,
termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan
fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang
digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical
infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang
tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang
sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Ketiga, proses belajar-mengajar (teaching
and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut
sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam
ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu
dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta
didik, siapa yang akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan
tanpa kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses
belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas,
menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas
proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode
mengajar yang digunakan, (3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi
peserta didik, dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas.
Ruang kelas di Indonesia sangat kering
dengan media dan alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering
menyebutkan bahwa ruang kelas kita ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika
diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka
bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut.
Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini. Proses
belajar mengajar di ruang kelas kita sangat kering dari penggunaan teknik
penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga
yang menyenangkan. Dampaknya, dapat diterka, yaitu hasil belajar yang belum
memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses
belajar mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni
kualifikasi dan kompetensi guru. Setengah guru kita belum memenuhi standar
kualifikasi. Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak
layak’. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa semua masalah bersumber dari masalah kesejahteraan. Memang, kesejahteraan
guru menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai profesi, selain
(1) memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses pendidikan dan
pelatihan, (3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi
profesi, (5) keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai (Suparlan,
2006).
Keempat, hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang
diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari
pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan
lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan
ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang
siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam
memberikan pelatihan.
Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy),
berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills) Ini
memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan
emosional dan sosial (emotional dan social intelligences),
nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam
kecerdasan, Howard Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan
paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan
bidang yang paling cocok dengan bakatnya” (Daniel Goleman, 2002: 49, dalam
Suparlan, 2004: 39). Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai
dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan
tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang
diperlukan untuk memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian
bangsa. Dalam perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head,
heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang mengingatkan bahwa “Dari pohon
rambutan jangan diminta berbuah mangga, tapi jadikanlah setiap pohon mangga itu
menghasilkan buah mangga yang manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua itu pada
dadarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional “…. berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Kelima, konteks (contexts) atau
lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan
tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau
lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial,
ekonomi, dan budaya, sebagai berikut:
- Economics and labour market conditions in the community atau kondisi pasar ekonomi dan pasar dalam masyarakat.
- Socio-cultural and religious factors atau faktor religius dan sosip-kultural.
- Educational knowledge and support infrastructure atau pengetahuan dan infrastruktur yang mendukung dunia pendidikan.
- PUBLIC RESOURCES AVAILABLE FOR EDUCATION atau ketersediaan sumber-sumber masyarakat untuk pendidikan.
- Competitiveness of the teaching profession on the labour market atau daya saing profesi mengajar pada pasar tenaga kerja.
- National governance and management strategies atau strategi manajemen dan tata kelola pemerintahan.
- Philosophical standpoint of teacher and learner atau pandangan filosofis guru dan peserta didik.
- Peer effects atau pengaruh teman sebaya.
- PARENTAL SUPPORT atau dukungan orangtua atau keluarga.
- Time available for schooling and home works atau ketersediaan waktu untuk sekolah dan PR.
- National standards atau standar-standar nasional.
- PUBLIC EXPECTATIONS atau harapan masyarakat.
- Labour market demands permintaan pasar tenaga kerja.
- Globalization atau globalisasi.
Pada awalnya, peran orangtua (rumah)
dan keluarga belum dipandang sebagai dimensi yang benar-benar berpengaruh
terhadap mutu pendidikan. Sekarang dukungan orangtua menjadi salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam kajian tentang
sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua siswa dan masyarakat
menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.
Hasil lima kajian tentang sekolah
efektif menjelaskan tentang faktor-faktor dalam sekolah efektif dapat
dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 1 Hasil Lima Studi Tentang
Sekolah Efektif
Purkey & Smith,
1983
|
Levine & Lezotte, 1990
|
Scheerens,
1992
|
Cotton,
1995
|
Sammons, Hillman & Mortimore,
1995
|
·
Strong leadership
|
·
Outstanding leadership
|
·
Educational leadership
|
·
School management and organization, leadership and school inprovement,
leadership and planning
|
·
Professional leadership
|
·
Clear goals on basic skills
|
·
Focus on central learning skills
|
·
-
|
·
Planning and learning goals and school-wide emphasis on learning
|
·
Concentration on teaching and learning
|
·
Orderly climate, achievement-oriented policy, cooperative atmosphere
|
·
Productive climate and culture
|
·
Pressure to achieve, consensus, cooperative planning, orderly atmosphere
|
·
Planning and learning goals, curriculum planning and development
|
·
Shared vision and goals, a learning environment, positive reinforcement
|
·
High expectations
|
·
High expectations
|
·
-
|
·
Strong teacher-student interaction
|
·
High expectation
|
·
Frequent evaluation
|
·
Appropriate monitoring
|
·
Evaluative potential of the school, monitoring of pupil progress
|
·
Assessment (district, school, classroom level)
|
·
Monitoring progress
|
·
Time on task, reinforcement, streaming
|
·
Effective instructional arrangements
|
·
Structured teaching, effective learning time, opportunity to learn
|
·
Classroom management, organization and instruction
|
·
Purposeful teaching
|
·
In-service training/ staff development
|
·
Practice-oriented staff development
|
·
-
|
·
Professional development and collegial learning
|
·
A learning organization
|
·
-
|
·
Slient parental involvement
|
·
Parent support
|
·
Parent-community involvement
|
·
Home-school partnership
|
·
-
|
·
-
|
·
External stimuli to make schools effective
· Phisical and material school characteristics · Teacher experience · School context characteristics |
·
Distinct school interactions
· Equity · Special programmes |
·
Pupil rights and responsibilities
|
Sumber: EFA Global Monitoring
Report 2005, hal. 66
Tabel tersebut menjelaskan bahwa
salah satu faktor sekolah efektif dikenal sebagai ‘keterlibatan orangtua’,
‘dukungan orangtua’, ‘keterlibatan orangtua-msyarakat’, atau ‘hubungan
keluarga-sekolah’. Dari beberapa faktor sekolah efektif tersebut, hasil studi
di negara maju menunjukkan adanya lima faktor yang paling berpengaruh terhadap
efektivitas suatu sekolah (EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66),
yaitu:
- strong eduational leadership -> terkait dengan pendidik dan tenaga kependidikan (masukan);
- emphasis on acquiring basic skills -> terkait dengan kurikulum (masukan;
- an orderly and secure environment -> terkait dengan konteks (lingkungan);
- high expectations of pupil attainment -> terkait dengan peserta didik (masukan kasar);
- frequent assessment of pupil progress -> terkait dengan proses belajar-mengajar (proses).
Apabila dikaitkan antara kelima faktor
sekolah efektif tersebu dengan lima dimensi mutu pendidikan yang telah
dijelaskan sebelumnya, tampak nyata bahwa kelima faktor tersebut dalam tulisan
ini juga dikenal sebagai dimensi-dimensi
mutu pendidikan. Dengan kata lain, dapat disebutkan
bahwa sekolah efektif tidak lain dan tidak bukan adalah juga sebutan untuk
pendidikan yang bermutu. Sudah tentu juga ditambah dengan faktor-faktor sekolah
efektif lainnya, termasuk peran dan dukungan orangtua dan masyarakat, yang
diwadahi dalam lembaga yang dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan di muka, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1)
mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang saling terkait, (2) lima dimensi
mutu pendidikan pada hakikatnya juga merupakan faktor-faktor yang membentuk
sekolah efektif, (3) sekolah yang efektif, dengan kata lain, dapat disebut
sebagai sekolah yang bermutu, (3) dukungan orangtua dan masyarakat terhadap
upaya peningkatan mutu pendidikan disalurkan melalui wadah lembaga sosial yang
kini dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Jakarta, 21 Februari 2007.
Bahan
Pustaka
Dedi
Supriadi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan, dan
Perjuangannya Sejak Zaman Penjajahan Hingga Era Reformasi. Jakarta:
Direktorat Tenaga Kependidikan.
Goleman,
Daniel. 2002. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.
http://www.suparlan.com
http://www.swopnet.com
Suparlan.
2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan
Implementasi. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan.
2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan.
2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat.
Artikel Permasalahan Pendidikan
Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa
Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi
untuk berbenah diri. Banyaknya permasalahan pendidikan yang muncul ke
permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita :
1. Kurikulum
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu
singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja.
Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula
pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang
terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya
bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi
kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh
kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap
kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan
yang kita tempuh
2. Biaya
Banyak masyarakat yang memiliki persepsi
pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak
pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas
konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti
diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri
seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah mengenyam
pendidikan?? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan
membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan
jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan
akademik dan finansial siswa. Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar
terjadi.
3. Tujuan pendidikan
Katanya pendidikan itu mencerdaskan,
tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan.
Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat.
Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula
yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat).
4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang-
Undang
DPR RI telah mensahkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Namun,
disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang
khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia
pendidikan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU
BHP. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan
dalam jangka panjang.
5. Kontoversi diselenggaraknnya UN
Kedua, aspek yuridis. UN hanya mengukur
kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara
sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan,
pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan
evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang
diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada
tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun
2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal
penyimpangan finansial dana UN.
6. Kerusakan Fasilitas
sekolah Nanang Fatah, pakar pendidikan
Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di
Indonesia rusak berat. Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak mencapai 50 persen.
Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah
tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan
proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana
Bank Dunia pada Komite Sekolah.
Pendidikan Islam
Sebagai orang yang menganut ajaran agama Islam hendaknya kita mengetahui sejauh mana pendidikan Islam itu sendiri. Tidak sedikit orang yang mengaku beragama Islam akan tetapi pengetahuan tentang pendidikan Islam sangat minim yang berakibat tindakan dan tingkah lakunya tidak layak disebut sebagai orang Islam.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Sebagai orang yang menganut ajaran agama Islam hendaknya kita mengetahui sejauh mana pendidikan Islam itu sendiri. Tidak sedikit orang yang mengaku beragama Islam akan tetapi pengetahuan tentang pendidikan Islam sangat minim yang berakibat tindakan dan tingkah lakunya tidak layak disebut sebagai orang Islam.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata
orang yang beakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan
pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun
sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada
pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak
bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”
Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu
bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir,
maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang
dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan
langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang
bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang
menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar
menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia
terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik
dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah
kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode
pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia
memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran
pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.
Pentingnya Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan kata kunci
untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu
akan didapat dan diserap dengan baik. Tak heran bila kini pemerintah mewajibkan
program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi pandai dan beradab. Pendidikan
juga merupakan metode pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang
memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan.
Pendidikan
Islam memiliki 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu: tilawah
(membacakan ayat Allah), tazkiyah (mensucikan jiwa) dan ta’limul kitab wa
sunnah (mengajarkan al kitab dan al hikmah). Pendidikan dapat merubah
masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik disebabkan pendidikan mempunyai
kelebihan. Pendidikan mempunyai ciri pembentukan pemahaman Islam yang utuh dan
menyeluruh, pemeliharaan apa yang telah dipelajarinya, pengembangan atas ilmu
yang diperolehnya dan agar tetap pada rel syariah. Hasil dari pendidikan Islam
akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang kuat serta
banyak beramal.
Pendidikan Islam berpadu dalam
pendidikan ruhiyah, fikriyah (pemahaman/pemikiran) dan amaliyah (aktivitas).
Nilai Islam ditanamkan dalam individu membutuhkan tahpan-tahapan selanjutnya
dikembangkan kepada pemberdayaan di segala sektor kehidupan manusia. Potensi
yang dikembangkan kemudian diarahkan kepada pengaktualan potensi dengan
memasuki berbagai bidang kehidupan. (QS. Ali Imran (3) : 103)
Pendidikan yang diajarkan Allah SWT
melalui Rasul-Nya bersumber kepada Al Qur’an sebagai rujukan dan pendekatan
agar dengan tarbiyah akan membentuk masyarakat yang sadar dan menjadikan Allah
sebagai Ilah saja.
Kehidupan mereka akan selamat di dunia
dan akhirat. Hasil ilmu yang diperolehnya adalah kenikmatan yang besar, yaitu
berupa pengetahuan, harga diri, kekuatan dan persatuan.
Tujuan utama dalam pendidikan Islam
adalah agar manusia memiliki gambaran tentang Islam yang jelas, utuh dan
menyeluruh.
Interaksi di dalam diri ini memberi
pengaruh kepada penampilan, sikap, tingkah laku dan amalnya sehingga
menghasilkan akhlaq yang baik. Akhlaq ini perlu dan harus dilatih melalui
latihan membaca dan mengkaji Al Qur’an, sholat malam, shoum (puasa) sunnah,
berhubungan kepada keluarga dan masyarakat. Semakin sering ia melakukan
latihan, maka semakin banyak amalnya dan semakin mudah ia melakukan kebajikan.
Selain itu latihan akan menghantarkan dirinya memiliki kebiasaan yang akhirnya
menjadi gaya hidup sehari-hari.
Kesinambungan dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam bahasa Arab
disebut tarbiyah
Islamiyah merupakan hak dan kewajiban dalam setiap insan yang ingin
menyelamatkan dirinya di dunia dan akhirat. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Tuntutlah ilmu dari buaian sampai akhir hayat.” Maka menuntut ilmu untuk
mendidik diri memahami Islam tidak ada istilah berhenti, semaki banyak ilmu
yang kita peroleh maka kita bertanggung jawab untuk meneruskan kepada orang lain
untuk mendapatkan kenikmatan berilmu, disinilah letak kesinambungan.
Selain merupakan kewajiban, kegiatan
dididik dan mendidik adalah suatu usaha agar dapat memiliki ma’dzirah (alasan)
untuk berlepas diri bila kelak diminta pertanggungjawaban di sisi Allah SWT
yakni telah dilakukan usaha optimal untuk memperbaiki diri dan mengajak orang
lain pada kebenaran sesuai manhaj yang diajarkan Rasulullah SAW.
Untuk menghasilkan Pendidikan Islam
yang berkesinambungan maka dibutuhkan beberapa sarana, baik yang mendidik
maupun yang dididik, yaitu:
1. Istiqomah
Setiap kita harus istiqomah terus
belajar dan menggali ilmu Allah, tak ada kata tua dalam belajar, QS. Hud (11) :
112, QS. Al Kahfi (18) : 28
2. Disiplin dalam tanggung jawab
Dalam belajar tentu kita membutuhkan
waktu untuk kegiatan tersebut. sekiranya salah satu dari kita tidak hadir, maka
akan mengganggu proses belajar. Apabila kita sering bolos sekolah, apakah kita
akan mendapatkan ilmu yang maksimal. Kita akan tertinggal dengan teman-teman
kita, demikian pula dengan guru, apabila ia sering membolos tentu anak didiknya
tidak akan maju karena pelajaran tidak bertambah.
3. Menyuruh memainkan peran dalam
pendidikan
Setiap kita dituntut untuk memerankan
diri sebagai seorang guru pada saat-saat tertentu, memerankan fungsi mengayomi,
saat yang lainnya berperan sebagai teman. Demikiannya semua peran digunakan
untuk memaksimalkan kegiatan pendidikan.
No comments:
Post a Comment