Pendidikan Pluralisme untuk Pendewasaan Kehidupan Berbangsa
Desiderata: Pendidikan Pluralisme untuk Pendewasaan Kehidupan Berbangsa[1]
Oleh: Dr. Mochtar Buchori.[2]
Pengantar
Sebelum saya menguraikan inti persoalan yang akan saya bicarakan,
terlebih dahulu saya akan menguraikan judul topik yang dirumuskan oleh
Panitia untuk saya, yaitu “Desiderata: Pendidikan Pluralisme untuk
Pendewasaan Berbangsa.” Topik ini sangat tepat untuk konteks kehidupan
berbangsa kita dewasa ini karena terkait dengan upaya mendasar yang
harus dilakukan oleh bangsa Indonesia secara menyeluruh agar bangsa ini
tidak berlarut-larut dalam keterpurukan.
Kata ‘desiderata’ adalah bentuk jamak (plural) dari kata ‘desideratum’, yang artinya: “something considered necessary or highly desirable” (sesuatu yang dianggap perlu atau sangat dibutuhkan). Kata ini berasal dari kata ‘desiderare’ yang artinya “to desire”.
Dengan dipergunakannya kata “desiderata” pada judul topik ini, saya
kira Panitia menyarankan, agar dalam uraian saya nanti saya membatasi
diri pada “hal-hal yang sungguh-sungguh diperlukan” untuk melaksanakan
“Pendidikan Pluralisme Untuk Pendewasaan [Kehidupan] Berbangsa”. Dengan
demikian, dalam topik ini ini terdapat dua masalah pokok, yaitu
“pendidikan pluralisme” dan “pendewasaan berbangsa”.
Yang menjadi persoalan adalah apa sesungguhnya yang dipandang sebagai
desiderata untuk pendidikan pluralisme di Indonesia? Jawaban terhadap
persoalan itu, menurut saya, ditentukan sekurang-kurangnya oleh dua hal,
yaitu: (1) tujuan “pendidikan pluralisme” untuk sekolah Indonesia; dan
(2) sifat pluralisme dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dalam
tulisan ini, saya akan memulai pembahasan topik ini dengan menguraikan
masalah tujuan “pendidikan pluralisme” ini dan sifat-sifat pluralisme
dalam masyarakat kita, dan kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan
tentang cara-cara mengenal watak kelompok lain, serta keterhubungan
antara pendidikan apresiasi seni dan pendidikan pluralisme.
Tujuan dan Dasar Pendidikan Pluralisme
Yang dimaksud dengan “pendidikan pluralisme”, menurut pengertian
saya, ialah pendidikan untuk mencapai kemampuan hidup berdasarkan
keharusan-keharusan yang lahir dari kenyataan pluralisme yang ada dalam
suatu masyarakat. Pendidikan pluralisme dimaksudkan untuk membimbing
masyarakat menerima kenyataan pluralitas yang ada dalam masyarakat
secara ikhlas, agar masyarakat kemudian mengembangkan cara hidup sesuai
dengan tuntutan pluralitas itu. Sementara itu, yang dimaksud dengan
“Pendewasaan Berbangsa”, menurut pemahaman saya, ialah proses menuju ke
suatu kehidupan yang dewasa sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, topik
yang dirumuskan Panitia ini juga mencakup dasar-dasar pendidikan menuju
ke kehidupan berbangsa yang dewasa dalam masyarakat Indonesia yang
bersifat pluralistik atau majemuk ini.
Dalam kehidupan suatu bangsa, kedewasaan datang dan pergi, karena
setiap bangsa harus hidup dalam zaman dengan tantangan yang
berbeda-beda.
Selama suatu bangsa memahami tantangan zamannya, dan mampu menjawab
tantangan-tantangan tersebut, maka bangsa itu akan mampu mencapai
kehidupan berbangsa yang dewasa. Tetapi, bila zaman berubah, sementara
bangsa tadi masih juga hidup dengan paradigma kehidupan berbangsa yang
lama, maka bangsa tadi kehilangan kedewasaannya. Bahkan, bangsa itu akan
menjadi ketinggalan zaman, mendapatkan dirinya di belakang
bangsa-bangsa yang memahami perubahan zaman, dan mampu menyesuaikan diri
dengan tuntutan-tuntutan baru.
Dalam setiap masyarakat pluralistik selalu terdapat sejumlah prasangka (prejudices).
Kelompok yang satu mempunyai sejumlah prasangka terhadap setiap
kelompok lain yang ada di sekitarnya. Kemampuan mengelola prasangka (managing prejudices)
akan menjadi faktor yang menentukan, apakah suatu masyarakat
pluralistik akan mampu berkembang dan mencapai kemajuan dengan
memanfaatkan kekuatan-kekuatan konstruktif yang terdapat dalam
pluralisme itu, ataukah masyarakat tadi akan terkoyak-koyak dan akhirnya
dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan destruktif yang terdapat dalam
pluralisme itu.
Pada akhirnya tujuan “pendidikan pluralisme” ialah menyadarkan para
peserta didik akan prasangka-prasangka yang ada dalam diri mereka
masing-masing, dan menanamkan dalam diri mereka benih-benih kemampuan
untuk mengendalikan prasangka-prasangka tadi. Ini dapat dicapai dengan
mengenali keindahan serta potensi-potensi untuk hidup harmonis dan
kreatif dalam masyarakat yang pluralistik. Jadi, dasar yang dapat
dipakai untuk melandasi pendidikan pluralisme adalah realitas objektif
bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan keharusan mengelola
keanekaragaman tersebut secara harmonis dan kreatif, sehingga
keanekaragaman bangsa Indonesia menjadi sesuatu yang indah. Dengan
demikian, tugas pendidikan pluralisme adalah “to teach students the beauty of living harmoniously and creatively within our pluralistic setting”.
Pluralisme dalam Masyarakat Kita
Banyak sekali petunjuk-petunjuk tentang kebelum-dewasaan kita dalam
kehidupan berbangsa. Secara umum, evidensi mengenai hal ini ialah bahwa
kepentingan bangsa selalu dikalahkan oleh kepentingan kelompok dan
bahkan kepentingan pribadi. Kita baru akan dipandang sebagai bangsa yang
dewasa, apabila secara umum kita mampu mendahulukan kepentingan bangsa
di atas kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi.
Dalam masyarakat kita yang pluralistik ini, pertentangan antara
kepentingan bangsa dan kepentingan kelompok atau pribadi ini juga nampak
dengan jelas sekali. Kita selalu mendahulukan kelompok kita
masing-masing kelompok agama, kelompok politik, kelompok suku, kelompok
ras, dan sebagainya dan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan
bangsa.
Masyarakat kita yang pluralistik ini baru dapat dikatakan dewasa,
kalau setiap jenis kelompok mampu menghargai dan menghormati setiap
jenis kelompok lainnya, dan mampu bekerja sama dengan kelompok-kelompok
lainnya untuk memajukan bangsa ini, dan untuk memacu bangsa ini mengejar
ketertinggalan-ketertinggalannya dari negara-negara lain.
Salah satu kelemahan dasar kita ialah bahwa setiap jenis kelompok
menutup diri terhadap kelompok-kelompok lain. Kita merasa dapat hidup
tanpa kelompok-kelompok lain, sehingga tidak merasa perlu mengenal
kelompok-kelompok lain. Sikap menutup diri dari kelompok lain seperti
ini merupakan suatu egosentrisme kelompok. Satu-satunya cara keluar dari
kepicikan ini ialah belajar mengenal kelompok-kelompok lain, mengenal
sifat-sifat mereka, dan mengenal watak mereka.
Benarkah bahwa kita dapat hidup dalam kelompok kita masing-masing,
tanpa harus bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain? Jelas tidak!
Menolak hidup bersama dan bekerja sama dengan kelompok lain berarti
menolak pluralitas itu sendiri. Ini berarti menolak kenyataan yang ada
dalam masyarakat kita. Ini hanya dapat dilakukan dengan kekerasan yang
tidak mengenal perikemanusiaan.
Bersediakah kita menjadi bangsa yang tidak mengenal peri-kemanusiaan,
dan selalu mempergunakan kekerasan untuk menyelesaikan segenap
persoalan yang kita hadapi? Tidak! Kita tidak mungkin hidup
terus-menerus dalam suasana kekerasan dan mendewasakan bangsa sekaligus!
Cara-Cara Mengenal Watak Kelompok Lain
Mengenal kelompok lain pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: cara formal-teoritik dan cara informal-empirik. Cara
formal ialah melalui studi (etnografi, etnolingusitik, etnomusikologi,
ilmu perbandingan agama, dan sebagainya), sedangkan cara informal ialah
melalui pergaulan. Pengenalan kelompok lain merupakan landasan untuk
mencapai toleransi dan apresiasi terhadap kelompok tadi. Toleransi dan
apresiasi ini dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi kemampuan hidup
bersama secara harmonis dan kreatif.
Dalam kehidupan nyata di Indonesia, tidak semua kelompok mendapatkan
kesempatan untuk melakukan pengenalan kelompok lain secara
formal-teoretik. Kebanyakan dari kita hanya memiliki satu cara, yaitu
mengenal kelompok lain secara sosial, atau secara informal-empirik.
Mengenal kelompok lain dapat dilakukan secara dangkal, tetapi dapat
juga secara mendalam, secara intensif. Kualitas pengenalan kita terhadap
suatu kelompok lain ditentukan seluruhnya oleh keinginan kita dan
tindakan nyata kita. Betulkah, bahwa keinginan kita untuk mengenal
kelompok keturunan Cina sama kuatnya dengan keinginan kita untuk
mengenal kelompok Kristen?
Toleransi saja tidak cukup untuk mengatasi prasangka-prasangka yang
lahir dari kenyataan pluralitas. Dalam hal-hal tertentu, toleransi dapat
berarti menerima perbedaan-perbedaan dengan sikap menggerutu (accepting differences grudgingly). Ini bukan landasan yang kokoh untuk membangun persaudaraan antar-kelompok.
Di atas toleransi dibutuhkan keterbukaan (open-mindedness) dan keinginan untuk tahu (curiosity)
terhadap kelompok lain. Tanpa kedua hal ini kita tidak akan pernah
mengenal suatu kelompok lain dengan baik. Hasil usaha-usaha seperti ini
ialah mutual acceptance dan mutual inclusion. Ini akan melahirkan suatu sikap yang disebut multiplicity. Ini hanya akan terjadi, kalau setiap kelompok benar-benar berusaha untuk mengenal kelompok lain.
Untuk mencapai sikap mutual acceptance dan mutual inclusion ini,
seorang pemimpin kelompok memainkan peran yang sangat menentukan.
Setiap pemimpin kelompok tidak hanya harus memberikan teladan tetapi
juga menjadi teladan, baik untuk anggota kelompoknya sendiri maupun
anggota kelompok lainnya, sehingga masyarakat menghayati bahwa mutual acceptance dan mutual inclusion bukan sekedar utopia, melainkan sesuatu yang nyata.
Pendidikan Apresiasi Seni dan Pendidikan Pluralisme
Yang dimaksud dengan ‘apresiasi’ (appreciation) ialah “recognition of the quality, value, significance, or magnitude of people and things” (pengakuan atas kualitas, nilai, signifikansi, atau keunggulan orang dan benda-benda). Arti lain dari apresiasi adalah “awareness of delicate perception especially of aesthetic qualities or values” (kesadaran akan persepsi halus terutama tentang kualitas atau nilai estetik).
Berdasarkan definisi ini dapat dikatakan, bahwa pendidikan apresiasi
seni pada akhirnya harus membawa peserta didik kepada pengenalan serta
penghayatan dari nilai-nilai yang terdapat dalam suatu karya seni, dan
mengetahui arti nilai-nilai tersebut bagi kehidupan orang atau kelompok
yang menghasilkan karya seni itu. Pendidikan apresiasi seni hanya akan
berhasil kalau dilakukan dalam suasana yang apresiatif, bukan suasana
yang penuh prasangka.
Dalam studi tentang kebudayaan, kita perlu membedakan popular culture (kebudayaan pop) dari high culture (kebudayaan tinggi). Popular culture ialah kebudayaan seperti yang dihayati oleh rakyat biasa, sedangkan high culture ialah kebudayaan seperti yang diperlihatkan oleh para budayawan (pelukis, penari, dramaturg, penggubah musik, dan sebagainya).
Perjalanan Trans-kultural
Perjalanan trans-kultural adalah suatu perjalanan menuju ke
lingkungan kultural lain dengan menembus batas-batas dari lingkungan
kultural sendiri.
Mengenal nilai-nilai yang terdapat dalam karya seni kelompok lain
adalah suatu upaya untuk memasuki dunia seni, dunia kultural lain yang
berbeda dari dunia kultural kita. Mengenal watak kelompok lain adalah
suatu usaha untuk memasuki alam kehidupan lain yang berbeda dari alam
kehidupan kita sendiri.
Ini bukan perjalanan yg mudah. Hambatan utama ialah keterikatan kita
kepada idiom-idiom kultural kita sendiri, dan ketidak-mampuan untuk
berpikir dan bertindak melalui idiom-idiom kultural baru.
Contoh nyata ialah usaha untuk menguasai bahasa asing. Untuk anak
Jawa, melepaskan diri dari ungkapan-ungkapan khas Jawa—seperti “lha
wong”, “ngono lho”, “priye, ta?”—memerlukan usaha yang menuntut
keuletan. Orang Jawa yang berbahasa Inggris, tetapi idiom-idom
linguistiknya masih tetap Jawa, akan menghasilkan bahasa Inggris yang
terdengar kaku dan aneh (dalam telinga orang Inggris).
Perjalanan kultural tidak akan berhasil, kalau kita bersikap fanatik terhadap kultur kita sendiri. Jadi pendidikan bilingualism,
pendidikan apresiasi seni, dan pendidikan pluralisme tidak boleh
dilaksanakan dalam suasana yang penuh fanatisme. Harus dipupuk suasana
terbuka, suasana ingin tahu, dan suasana yang penuh kepekaan terhadap
keindahan dan nilai-nilai yang berbeda dalam bentuk ungkapannya dengan
keindahan dan nilai-nilai kita sendiri.
Kita mengejar kedewasaan berbangsa dalam suasana zaman yang terus
berubah. Mengejar kedewasaan berbangsa adalah bagaikan “menembak sasaran
yang terus bergerak” (shooting a moving target). Membentuk
kedewasaan berbangsa merupakan suatu usaha yang tidak pernah berhenti.
Merasa diri telah dewasa merupakan suatu kelengahan dalam kehidupan
berbangsa. Self-criticism dan optimism merupakan modal dasar untuk mengembangkan dan mempertahankan kedewasaan berbangsa.
Sebagai bangsa kita pernah dewasa, tetapi tanpa kita sadari kita
telah kehilangan kedewasaan berbangsa tadi. Apa sebabnya? Apa saja
tantangan-tantangan yang kita hadapi di masa depan? Banyak sekali!
Kecuali mengetahui tantangan-tantangan tadi, kita juga harus tahu mana
yang harus kita dahulukan dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Adakah harapan, bahwa di suatu waktu di masa depan kita akan memperoleh
kedewasaan berbangsa kita dan kejayaan yang pernah kita raih? Ini
bergantung kepada cara kita mendidik generasi-generasi mendatang,
generasi yang akan datang sesudah generasi kita.
Diletakkan dalam konteks ini, pendidikan pluralisme merupakan suatu agenda pendidikan yang besar.
Pendidikan Pluralisme, Globalisasi, dan Sustainability
Kita sekarang hidup dalam zaman globalisasi yang bersifat sangat
kompetitif. Dalam persaingan global ini ada pihak-pihak pemenang (winners) dan banyak pula yang menjadi pihak yang kalah (losers).
Sekarang ini Indonesia termasuk golongan yang kalah ini. Sikap menolak
kelompok lain dalam zaman global ini hanya merugikan diri sendiri.
Kekuasaan ekonomi tidak mengenal ras atau agama.
Harus kita akui, bahwa globalisasi ini telah menimbulkan berbagai
ketimpangan baru. Ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa globalisasi tidak
lebih daripada ‘structural mapping of the world”, dan tidak
melahirkan keseragaman dalam norma dan nilai. Globalisasi tidak
melahirkan universalisasi. Dengan kata lain: globalisasi mungkin
melahirkan “global culture” , tetapi tidak melahirkan “global civilization.”
Kita tidak mungkin terus hidup dengan ketimpangan-ketimpangan yang
ada sekarang ini. Kita tidak mungkin mempertahankan gaya hidup yang
sekarang ini terdapat di negeri-negeri maju dan kaya. Gaya hidup
masyarakat kaya ini tidak sustainable, tidak dapat dipertahankan. Jadi peradaban global (global civilization) yang ada sekarang ini harus diperbaharui, kalau kita mau menyelamatkan planet kita, umat manusia, dan humanitas itu sendiri.
Tantangan yang kita hadapi dalam hal ini ialah: Dapatkah pendidikan
pluralisme yang kita selenggarakan melahirkan seperangkat nilai baru
yang ada kaitannya dengan pembaharuan global civilization kita sekarang ini?
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas saya harap dapat dilihat, bahwa pendidikan
pluralisme bukan suatu kegiatan yang berdiri sendiri. Pendidikan
pluralisme terkait dengan masalah-masalah besar yang lain, dan masalah
terbesar yang kita hadapi sekarang ini ialah mencapai “sustainable development”, yaitu cara membangun yang tidak merusak lingkungan dan tidak merusak kemanusiaan.
Dengan demikian pendidikan pluralisme tidak dapat diajarkan secara
terpisah melalui mata pelajaran khusus yang tidak terkait dengan
berbagai mata pelajaran lain. Pendidikan pluralisme harus merupakan
bagian integral dari suatu agenda pendidikan baru, yaitu agenda
pendidikan untuk memperbarui konsep-konsep tentang kemanusiaan,
keadilan, dan kesejahteraan.
Jakarta, 23 Juli 2002.
No comments:
Post a Comment