Thursday, March 21, 2013

Demi Pendidikan

Konsideran Mutu untuk Pendidikan Bangsa


KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan rintisan sekolah bertaraf inter nasional (RSBI) karena dinilai inkonstitusional sesungguhnya sangat membantu memperbaiki visi mutu pendidikan berbangsa. Itu sekaligus menjadi momentum untuk melihat pendidikan secara jauh lebih makroskopis. Di satu pihak, ada dorongan masyarakat yang mempersyaratkan adanya pendidikan bermutu.
Namun, di lain pihak, masyarakat tidak sepenuhnya meyakini jaminan mengenai cara yang sepatutnya ditempuh untuk memperoleh mutu yang diinginkan. Sekolah berlabel internasional dan bertarif lebih tinggi daripada sekolah biasa ialah salah satu indikator umum yang cenderung menjadikan sekolah itu, bagi anggota masyarakat tertentu, seolah-olah lebih bermutu. Tidak semestinya begitu! Namun, para pejabat dan orangtua tertentu umumnya tidak sadar bahwa karakteristik itu, an sich, bukanlah indikator mutu yang sebenarnya mereka cari.
Tentu, kita patut merasa bahagia ketika mengetahui bangsa Indonesia sudah dimotivasi keinginan untuk memperoleh pendidikan bermutu. Kita tahu bangsa ini, selama dijajah berabad-abad lamanya, tidak pernah mempersoalkan mutu pendidikan seperti yang sekarang dipertikaikan. Selama itu yang dibincangkan ialah pendidikan yang apa adanya.
Sekarang, kita berhadapan dengan masyarakat yang mulai menuntut bahkan mempersyaratkan adanya mutu, apa pun standar yang mereka gunakan sebagai penentuan dan ukuran mutu. Dengan kata lain, ada kecenderungan di dalam masyarakat bahwa mutu pendidikan dipertengkarkan sebagai isu praktis, tanpa kejelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud.
Masyarakat saat ini perlu mengetahui bahwa mutu yang dituntut itu bukanlah sesuatu yang fixed, formal, dan otomatis. Mutu pendidikan merupakan konsep yang sangat dinamis, berkembang melalui sesuatu yang berproses, senantiasa hidup, serta penuh dengan berbagai rangsangan dan perubahan.
Banyak persoalan jauh lebih urgen dan memerlukan pertimbangan lebih serius demi bangsa. Terlebih bila dibandingkan dengan percekcokan yang tidak menentu dan tidak bermakna tentang siapakah dan mengapakah ada anak bangsa yang terhitung sebagai anak didik atau murid sekolah internasional, termasuk mengapa ada anak bangsa lainnya yang harus hidup dalam sistem (?) yang tampaknya berbeda karena pengaruh visi masa lalu yang belum terkoreksi sepenuhnya. Sesuai dengan pascakeputusan MK pun, bukan mustahil dan pada saat-saat tertentu, masih akan timbul berbagai bentuk `pembenaran' dengan berbagai ar gumentasi `keunggulan', yang masih di pertahankan demi mutu (yang juga tidak jelas) melalui berbagai terminologi yang sebenarnya hanya menjebak!
Ukuran Urgensi
Yang lebih esensial untuk dipersoalkan bukanlah apa sebaiknya nama sekolahnya yang seksi. Atau, berapa harga yang harus dibayarkan orangtua supaya masih terjangkau. Kemudian dari negara mana gurunya harus didatangkan supaya masuk akal. Apa lagi kurikulum nya yang menarik agar kedengaran seperti datang dari angkasa luar!
Hal seperti itu tidak pernah perlu dibincang kan karena tidak pernah berguna. Lagi pula isu semacam itu tidak kena-mengena dengan persoalan mutu pendidikan berbangsa, yang justru merupakan urgensi yang aktual dan serius.
Sekolah yang bermutu mengutamakan pen didikan yang mencerdaskan dan memberani kan anak bangsa untuk berpikir, bukan sekadar menghasilkan generasi bangsa yang fasih menghafal melalui berbagai latihan dan ujian hafalan, apa pun namanya. Dengan menggunakan sekolah sebagai ukuran keberhasilan, tidak berarti bahwa kita semua sudah bangga karena bisa mempertontonkan Indonesia sebagai bangsa penghafal melalui berbagai ujian hafalan, yakni ujian yang lebih sering disebut secara menakutkan dan menyeramkan sebagai ujian nasional.
Kita biasanya sudah menganggap pencapaian cukup baik apabila anak bangsa menjadikan bangsa yang tersekolah. Anak-anak kita diamati dan diawasi agar mereka diyakini masuk sekolah. Akan tetapi, kita sebenarnya tidak mengetahui apa yang terjadi sesudahnya dan selebihnya. Kita sudah senang apabila anak kita sudah masuk sekolah yang megah. Sebenarnya harus jauh lebih dari tujuan itu. Hendaknya yang menjadi tujuan utama ialah anak kita tumbuh sebagai anak yang terdidik, bukan sekadar sebagai anak yang tersekolah.
Bertentangan
Yang kurang disadari, bahkan yang termasuk kurang dipertimbangkan para perumus kebijakan pendidikan nasional pun, ialah sekolah internasional yang kita banggakan atau sekolah mana pun yang kita jadikan sebagai model sebenarnya tetap mengandung berbagai kelemahan internal, yang berarti tidak tanpa cacat.
Secara filosofis, yang sangat menonjol ialah penilaian yang negatif dan bahkan bertentangan mengenai kedudukan sekolah internasional yang diusulkan pemerintah sendiri, ditinjau dari amanah UUD 1945.
Sekolah yang semula diterima dengan tangan terbuka sebagai pintu kemajuan dan perkembangan demokrasi kini secara politis mulai dikecam sebagai perpanjangan kepentingan globalisasi, komersialisasi, dan sejenisnya.
Makin banyak pula pengamat mengemukakan berbagai kelemahan yang terkait dengan persepsi salah mengenai perpanjangan kekuasaan, kedudukan sosial. Di antara kritik yang cukup keras mengenai peran pendidikan misalnya timbulnya saran untuk menyelamatkan masyarakat dari pengaruh detrimental dari sekolah yang salah jadi.
Dengan memperhatikan dan memperhitungkan sekomprehensif mungkin mengenai masa depan bangsa, dan dengan menyimpulkan apa yang patut menjadi konsiderans mutu untuk masa ini, tanpa putusan MK pun RSBI dinilai bertentangan dengan undang-undang.
Sudah jelas bahwa yang menjadi urgensi pendidikan berbangsa dewasa ini sama sekali bukanlah alternatif pendidikan internasional versus pendidikan nasional. Gagasan untuk menumbuhkan pendidikan internasional, di samping tetap adanya pendidikan nasional, memang sama sekali tidak berdasar. Malangnya, gagasan liar itulah yang telah menimbulkan air liur di kalangan mereka yang sudah telanjur percaya akan superioritas mutu RSBI versus sekolah nasional yang `tradisional'.
Apa yang salah mengenai sekolah `tradisional' tersebut? Salahkah bila mutu pendidikan berbangsa dimulai dari situ? Mengapa mutu sistem nasional tersebut harus ditingkatkan melalui barang baru dengan apa yang disebut internasional?
Apakah barang baru itu merupakan sistem tersendiri atau bagian dari sistem yang sudah ada?
Pertanyaan serupa sebenarnya menjadi tidak relevan bila asumsinya sudah jelas. Namun sekarang, pertanyaan serupa itu bisa menjadi urgen karena asumsinya masih kacau-balau. Pemerintah pun tidak memiliki konsiderans mutu yang jelas dan mampu diterapkan dalam konteks berbangsa.
Yang diperlukan sekarang bukanlah apakah anak bangsa tercatat sebagai murid sekolah nasional ataukah murid sekolah internasional. Yang jauh lebih utama yaitu apakah anak bangsa sekarang ini tersekolah atau terdidik. Yang dibutuhkan ialah bagaimana peristiwa pembelajaran ternyata mampu mengantar anak bangsa menjadi bangsa yang cerdas.
Yang penting ialah apakah anak bangsa memiliki jati diri dan heroisme keindonesiaan. Dari satu bangsa yang hari ini berkembang sekitar 240 juta jiwa, yang tetap berpulau-pulau sekitar 1.750 buah, dan dengan konsep pemekaran para pengelola sekitar 600 daerah otonom, yang urgen ialah penerapan amanah konstitusi tentang pendidikan berbangsa.
Winarno Surakhmad ;
Pengamat Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 14 Januari 2013

No comments:

Post a Comment