Dalam pandangan Islam, tanggung jawab pendidikan tersebut
di-bebankan kepada setiap individu. Dalam QS. al-Tahrim (66) 6 Allah swt
ber-firman “يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا” (wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka). Kata “أَنْفُسَكُمْ” dalam ayat ini yang berarti “dirimu”,
menandakan bahwa setiap diri pribadi, atau setiap individu harus memiliki
tanggungjawab dalam upaya melaksanakan pendidikan dengan baik, agar ia
terhindar dari api neraka. Dalam sisi lain, ayat tersebut juga menegaskan bahwa
di samping diri pribadi, maka keluarga juga harus dididik dengan baik. Karena
ayat tersebut berbicara tentang diri pribadi dan keluarga, maka jelaslah bahwa
pendidikan merupakan tanggungjawab semua orang.
Dalam implementasinya, orangtualah sebagai penanggungjawab
pendidikan di lingkungan keluarga atau di rumahtangga; guru-guru dan
pengelolah sekolah termasuk pemerintah sebagai penanggungjawab pendidikan di
lingkungan sekolah; tokoh masyarakat dan selainnya sebagai penanggungjawab
pendidikan di lingkungan masyarakat. Ketiga pihak ini, masing-masing memiliki
tanggung jawab pendidikan secara tersendiri dalam lingkungannya masing-masing,
namun tidaklah berarti bahwa mereka hanya bertanggung jawab penuh di
lingkungannya, tetapi juga memiliki tanggung jawab yang signifikan dalam
lingkungan pendidikan lainnya. Orang tua misalnya, ia sebagai penanggungjawab
pendidikan di lingkungan keluarga, tetapi tanggung jawab tersebut bukan hanya
terbatas pada lingkungan rumahtangganya, namun juga dibutuhkan tanggung
jawabnya di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Pendidikan dalam lingkungan rumah tangga, disebut dengan
jalur pendidikan informal.[3] Lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga,
memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian
muslim sejak dini. Sebab di lingkungan inilah seseorang menerima sejumlah nilai
dan norma yang ditanamkan sejak masa kecilnya. Allah swt berfirman dalam QS.
Āli Imrān (3): 102,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali
dalam keadaan beragama Islam.[4]
Seruan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa dalam ayat
di atas, bermuara pada pembentukan kepribadian muslim. Itulah sebabnya, ayat
tersebut diakhiri dengan kalimat "muslimun". Orang yang beriman
hendaknya menumbuhkan karakter taqwā pada dirinya. Dengan bertumbuhnya
ketakwaan tersebut secara pesat, akan melahirkan kepribadian muslim. Dalam
perkataan lain bahwa dengan keimanan dan ketakwaan tersebut, akan terbentuk
suatu kepribadian muslim. Dengan demikian, manusia yang beriman dan bertakwa
merupakan citra manusia muslim.
Zakiah Daradjat menyatakan bahwa mati dalam keadaan berserah
diri kepada Allah sebagai muslim sebagaimana dalam ayat tadi merupakan ujung
dari takwa, sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan
pendidikan.[5] Lebih lanjut pakar pendidikan ini, menjelaskan bahwa sesuatu
yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara
keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi “insan kamil”
dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat
hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya.[6]
Pembentukan insan kamil sebagai indikator kepribadian
muslim, berlangsung secara berangsur-angsur, dan bukanlah hal yang sekali jadi,
melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian
merupakan suatu proses. Akhir dari perkembangan itu, kalau berlangsung dengan
baik, akan menghasilkan suatu kepribadian yang harmonis. Selanjutnya,
kepribadian itu disebut harmonis kalau segala aspek-aspeknya seimbang, kalau
tenaga-tenaga bekerja simbang pula sesuai dengan kebutuhan. Pada segi lain,
kepribadian yang harmonis dapat dikenal, pada adanya keseimbangan antara
peranan individu dengan pengaruh lingkungan sekitarnya.[7]
Lingkungan keluarga mempunyai peranan yang sangat penting
terhadap keberhasilan pendidikan, karena perkembangan seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Lingkungan dapat memberikan pengaruh
yang positif dan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan
sikap, akhlak dan perasaan agama.[8] Dapat dipahami bahwa penerapan pendidikan
Islam secara baik pada lingkungan keluarga, memiliki peran penting dalam
pembentukan kepribadian muslim.
Masalah
Berdasar pada uraian latar belakang yang telah dikemukakan,
maka yang menjadi pokok masalah dalam kajian skripsi ini adalah bagaimana
peranan pendidikan Islam di lingkungan keluarga dalam pem-bembentukan
kepribadian muslim ?
Untuk kajian lebih lanjut, skripsi ini membahas tiga sub
masalah yang menjadi pertanyaan mendasar, sebagai berikut :
- Bagaimana konsep pendidikan Islam dalam lingkungan keluarga ?
- Bagaimana urgensi pendidikan di lingkungan keluarga dalam pem-bentukan kepribadian muslim?
- Bagaimana implementasi pendidikan keluarga pada rumah tangga dalam membentuk pribadi muslim ?
Pengertian Judul dan Ruang Lingkup Pembahasan
Untuk memperoleh pemahaman yang jelas tentang fokus kajian,
serta untuk menghindari kesalahpahaman (mis understanding) terhadap operasional
pembahasannya, maka terdapat beberapa variabel penting dalam judul skripsi ini
yang perlu diperjelas dan dirumuskan definisi ruang lingkup operasionalnya,
sebagai berikut :
1. Peranan
Istilah peranan mengandung arti bagian penting dan yang
dimainkan oleh seseorang secara individu atau secara berkelompok (masyarakat),
atau lembaga, atau organisasi dalam melakukan usaha.[9] Dengan demikian,
peranan dalam judul skripsi ini adalah bagian penting yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan informal, yakni lembaga pendidikan di lingkungan keluarga
2. Pendidikan Islam
Pendidikan adalah, suatu proses mendewasakan manusia dengan
cara membimbing, mengasuh, dan mengarahkan. Selanjutnya pendidikan Islam adalah
:
Sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang
untuk memimpin kehidupan sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai
Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.[10]
Dengan pengertian pendidikan Islam di atas, kiranya
memberikan pemahaman yang utuh terhadap makna Pendidikan Islam itu sendiri,
yakni upaya yang dilakukan untuk memberikan bimbingan, asuhan kepada anak didik
atau anggota di lingkungan keluarga agar mereka memahami dan menghayati
ajaran-ajaran Islam agar nantinya mereka dapat mengamalkan ajaran Islam dalam
segala aspek kehidupannya, demi pembentukan kepribadiannya, yakni kepribadian
muslim.
3. Lingkungan Keluarga
Lingkungan adalah tempat atau lokasi area di mana manusia
berada, sedangkan keluarga adalah masyarakat terkecil terdiri sekurangnya dari
pasangan suami dan isteri sebagai sumber intinya berikut anak/anak-anak yang
lahir dari mereka. Jadi setidak-tidaknya keluarga adalah sepasang suami dan
isteri bila belum ada ana/anak-anak atau tidak sama sekali.[11] Di lingkungan
keluarga inilah bila dilakukan proses pendidikan, maka disebut sebagai
lingkungan pendidikan informal.
4. Pembentukan
Istilah pembentukan, berasal dari kata "bentuk",
yakni rupa atau gambaran sesuatu yang memiliki ciri khas. Hamzah Ahmad dan
Nanda Santoso menyatakan, "bentuk adalah wujud sesuatu barang, dan model
sesuatu".[12] Dengan awalan "pem" dan akhiran "an",
yakni pembentukan, maka ia mengandung arti proses untuk mewujudkan sesuatu,
misalnya untuk mewujudkan kepribadian muslim memerlukan proses pendidikan.
5. Kepribadian Muslim
Pengertian kepribadian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah “sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang
membedakan dirinya dengan dari orang atau bangsa lain.”[13] Dari batasan ini,
ditemukan dua kata kunci mengenai kepribadian, yakni “sifat” dan “sikap”. Namun
bila diinterpretasi lebih lanjut, tentu masih ditemukan kata-kata kunci lain
yang sangat terkait dengan kepribadian, misalnya; ciri, karakter, watak, jiwa,
moral, semangat, kebiasaan, dan tingkah laku. Sedangkan yang dimaksud muslim
adalah "orang Islam". Dengan demikian, kepribadian muslim yang
dimaksud dalam skripsi ini adalah sifat dan sikap baik yang melekat pada umat
Islam, di mana sifat dan sikap tersebut tercermin dalam akhlāq al-mahmūdah
sebagaimana yang termatub dalam Alquran, atau yang tergambar dalam kepribadian
nabi dan rasul terakhir, yakni Muhammad saw. sebagai uswah al-hasanah.
Dengan kembali merujuk pada batasan-batasan pengertian yang
telah diungkapkan, judul skripsi ini, yakni peranan pendidikan Islam di
lingkungan keluarga dalam pembentukan kepribadian muslim, akan difokuskan pembahasannya
terhadap konsep apa yang dilakukan oleh sistem pendidikan Islam secara informal
dalam upaya membentuk perilaku muslim menurut ajaran Islam. Praktis bahwa ruang
lingkup pembahasanya adalah adalah merumuskan ide-ide dan gagasan-gagasan
berupa konsep yang tepat dan akurat tentang cara pembentukan karakter muslim
melalui sistem kependidikan Islam yang diselenggarakan di lingkungan
rumahtangga.
Tinjauan Pustaka
Dari berbagai karya ilmiah berupa literatur yang membahas
tentang pendidikan Islam pada umumnya dan kepribadian muslim pada khususnya,
belum ditemukan satupun literatur sama judulnya dengan skripsi yang penulis
tulis ini. Atau dengan kata lain bahwa pembahasan yang memiliki obyek kajian
serupa dengan judul dan permasalahan dalam pembahasan skripsi ini, belum pernah
dilakukan oleh para penulis, peneliti, dan pengkaji lainnya. Namun demikian,
dari berbagai buku dan atau literatur kepustakaan yang ditelusuri tersebut,
sebagian di antaranya ada yang hampir memiliki persamaan dengan pembahasan yang
penulis akan lakukan. Literatur-literatur tersebut, adalah sebagai berikut :
- Karya Muhammad al-Gazali, Muslim’s Character yang diterjemah-kan oleh Achmad Noer Z, dengan judul Karakter Muslim (Bandung: Risalah, 1987). Buku ini dalam salah satu babnya, membahas tentang “Suatu Kepribadian Ideal”. Namun, penulisnya tidak membahas secara tuntas mengenai kepribadian muslim, dan tidak juga mengaitkan pembahasannya sedikitpun pada masalah pendidikan.[14] Karena itu, buku ini walaupun kelihatannya agak sejalan dengan pembahasan penulis, namun di sisi lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
- Masih karya Muhammad al-Gazali, Khuluq al-Muslim diterjemahkan oleh H. Moh. Rifai dengan judul Akhlak Seorang Muslim (Cet. I Semarang: Wicaksana, 1985). Buku ini berfokus pada pembahasan masalah moralitas sebagaimana dalam kitab-kitab akhlak, dan penulisnya mengaitkan pembahasannya pada masalah dakwah. Dikatakan demikian, karena bab-bab pembahasannya relevan dengan materi-materi dakwah, misalnya rukum Islam dalam pembinaan akhlak; akhlaq yang jahat tanda iman yang lemah; menuju ke masyarakat utama; baik dan buruk; sanksi bagi pelanggar akhlak.[15] Buku ini walaupun kelihatannya memang terkait dengan kepribadian muslim, namun tidak ditemukan pembahasan spesifik mengenai pengertian dan urgensi kepribadian muslim serta proses pem-bentukannya melalui pendidikan Islam di lingkungan keluarga sebagaimana yang penulis bahas.
- Karya Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Cet. VII; Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1989). Buku ini dalam salah satu babnya, membahas tentang “Pembentukan Kepribadian Muslim”.[16] Namun, pembahasannya masih parsial, karena penulisnya tidak sampai menyentuh pada pembahasan pembentukan kepribadian muslim berdasarkan konsep pendidikan Islam di lingkungan keluarga sebagaimana dalam kajian skripsi ini.
Selain ketiga buku yang disebutkan di atas, ditemukan pula
buku-buku lain yang di dalam pembahasannya memiliki relevansi dengan kajian
penulis. Misalnya saja; Ihyā ‘Ulūm al-Dīn dan Insān Kāmil karya Hujjah al-Islām
Syekh Abū Hamid al-Gazāli; Moral Education, karya Emile Durkheim; Pola Hidup
Muslim karya Abu Bakar Jabir al-Jaziri; Akhlak Muslim, karya Oemar Bakri; dan
selainnya terutama buku-buku pendidikan.
Kesemua literatur yang telah penulis sebutkan di atas,
maupun yang belum sempat disebutkan berbeda dengan judul dan masalah pokok yang
penulis akan bahas dalam skripsi ini. Namun demikian, teori-teori tentang
kepribadian muslim dan hal-hal lain yang berkenaan dengan masalah pendidikan
Islam yang sudah ada dalam literatur-literatur tersebut, banyak memberikan
ilustrasi untuk merekonstruksi pemikiran penulis untuk melakukan pengkajian dan
penelitian dalam skripsi ini secara komprehensif.
[1]QS. al-Żāriyat (51): 56
[2]QS. al-Baqarah (2): 30
[3]Tim Fokusmedia, Undang-undang RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Cet. I; Bandung: Fokusmedia, 2003), h. 6
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h. 92
[5]Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III;
Jakarta: Bumi Aksara bekerja-sama dengan Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1996), h. 31
[6]Ibid., h. 29
[7]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
(Cet. VIII: Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989), h. 75
[8]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Kalam
Mulia, 1994), h. 146
[9]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balain Pustaka, 2002), h. 854.
[10]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), h. 10.
[11]H. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih dalam Keluarga.
Jakarta: Pustaka Antara, 1989), h. 11.
[12]Hamzah Ahmad dan nanda Santoso, Kamus Pintar Bahasa
Indonesia (Surabaya: Fajar Mulya, 1996), h. 52
[13]Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 788
[14]Lihat Muhammad al-Gazali, Muslim’s Character yang
diterjemahkan oleh Achmad Noer Z, dengan judul Karakter Muslim (Cet. I;
Bandung: Risalah, 1987), h. 11-15
[15]Muhammad al-Gazali, Khuluq al-Muslim diterjemah-kan oleh
H. Moh. Rifai dengan judul Akhlak Seorang Muslim (Cet. I Semarang: Wicaksana,
1985), h. vi
[16]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
(Cet. VII; Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1989), h. 66
[17]Lihat Winarto Suracmad, Pengantar Penelitian Ilmiah
(Bandung: Tarsito, 1990), h. 257-258
TINJAUAN UMUM
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yakni paedagogie
yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas kata paes dan ago. Kata paes
berarti anak dan kata ago berarti aku membimbing.[1] Dalam bahasa Indonesia
kata pendidikan tersebut berasal dari kata “didik” yang didahului awalan “pe”
dan akhiran “an”, yang mengandung arti perbuatan, hal, cara dan sebagainya.[2]
Dalam bahasa Inggris disebut dengan education[3] dan dalam bahasa Arab disebut
dengan al-tarbiyah,[4] yang pada hakekatnya berarti pengarahan. 18
Arti pendidikan yang dikemukakan di atas, baik dalam bahasa
Yunani, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Arab, bila kesemuanya
dikaitkan antara satu dengan lainnya, rupa-rupanya memiliki makna yang identik,
yakni pada intinya pendidikan secara etimologi adalah bimbingan atau
pengarahan.
Dari pengertian pendidikan secara etimologi tersebut, maka
dapat dipahami bahwa dalam prakteknya pendidikan selalu dihubungkan dengan anak,
maksudnya anaklah yang menjadi obyek didikan. Hal demikian ini, karena dari
asal kata pendidikan itu sendiri selalu berhubungan dengan anak. Yakni,
mendidik anak dalam arti membimbingnya dengan sebaik-baiknya.
Dalam perkembangannya, arti pendidikan yang berarti
bimbingan dan pengarahan tersebut meluas ke pemaknaan yang bermacam-macam,
misalnya pertolongan, pengarahan, anutan, mendewasakan seseorang atau
sekelompok orang.[5] Dari sini dapat dirumuskan bahwa pendidikan secara
terminologi dapat pula diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang
dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang
atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan
penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.
Dengan demikian, maka pendidikan berarti, segala usaha
seseorang kepada orang lain untuk menjadikannya lebih dewasa dan berkembang
baik secara jasmaniyah maupun rohaniyah.
Kaitannya dengan itu, Prof. DR. Hasan Langgulung menyatakan
bahwa :
Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari
dua segi. Pertama, sudut pandangan masyarakat dan kedua, sudut pendangan
individu. Dari segi pandangan masyarakat pendidikan berarti pewarisan
ke-budayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap
berkelanjutan. … dilihat dari segi pandangan individu, pendidikan berarti
pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.[6]
Dari pengertian di atas memberikan gambaran bahwa pendidikan
itu merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengalihkan pengetahuan, kebudayaan
kepada generasi selanjutnya, agar nantinya ia mampu mengembangkan dirinya
sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.
Berdasar dari pengertian pendidikan tersebut di atas, maka
pengertian pendidikan dari segi terminologi adalah sebagai perubahan sikap dan
perilaku seseorang dalam uasaha mendewasakannya melalui pengajaran dan
pendidikan.
Bila kata “pendidikan” dihubungkan dengan kata “Islam”
sehingga menjadi kalimat “Pendidikan Islam”, maka secara otomatis ia terdiri
atas dua suku kata yakni “pendidikan” dan “Islam”.
Kata Islam jika ditinjau dari segi bahasa berasal dari سلم،
يسلم، إسلاما (salima, yaslimu, islaman) yang artinya selamat, damai, tunduk dan
sentosa.[7] Dari sini dapat dipahami bahwa Islam adalah suatu agama yang
menuntut sikap ketundukan dengan penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat
batin yang tulus, sehingga intisari yang terkandung dalam Islam ada dua yaitu;
pertama berserah diri, menudukkan diri atau taat sepenuh hati; kedua
sejahterah, damai hubungan yang harmonis.
Penamaan Agama Islam, sering pula disebut dengan istilah
dinullah[8] yang berarti agama milik Allah, dinulhaq[9] yang berarti agama
benar adanya dan dinulqayyim[10] yang berarti agama tepat dan tegak. Islam juga
merupakan fitrah Allah[11] atau asal kejadiannya sesuatu, karena alam semesta
dijadikan dan diatur oleh Allah, maka Allah menyatakan bahwa segala yang ada di
langit dan di bumi semuanya aslama. Keterangan ini menunjukkan pengertian bahwa
Allah menjadikan dan mengatur segala ciptaan-Nya dengan agama-Nya yaitu Agama
Islam.
Dari pengertian kata “pendidikan” dan kata “Islam”, maka
Prof. M. Arifin, M.Ed., menyatakan bahwa :
Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat
mem-berikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupan sesuai dengan cita-cita
Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak
ke-pribadiannya.[12]
Dengan pengertian Pendidikan Islam di atas, kiranya
memberikan pemahaman yang utuh terhadap makna Pendidikan Islam itu sendiri,
yakni upaya yang dilakukan untuk memberikan bimbingan, asuhan kepada anak didik
atau generasi muda agar mereka memahami dan menghayati ajaran-ajaran Islam agar
nantinya mereka dapat mengamalkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupannya,
demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak.
Pengertian Pendidikan Islam itu sendiri, melahirkan berbagai
interpretasi yang termuat di dalamnya. Yakni, adanya unsur-unsur edukatif yang
sekaligus sebagai konsep bahwa pendidikan itu merupakan suatu usaha, usaha itu dilakukan
secara sadar, usaha itu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung
jawab kepada masa depan anak, usaha itu mempunyai dasar dan tujuan tertentu,
usaha itu perlu dilaksanakan secara teratur dan sistimatis, usaha itu
memerlukan alat-alat yang digunakan.
Secara kongkrit, Abdurrahman al-Nahlawi merumuskan bahwa
dari pengertian Pendidikan Islam itu, sekurang-kurangnya mengandung empat
konsep dasar, yakni :
- Pendidikan merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki target, tujuan dan sasaran.
- Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah swt. Dialah Pencipta fitrah, Pemberi bakat, Pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan dan interaksi fitrah sebagaimana Dia pun mensyariatkan aturan guna mewujudkan kesempurnaan, kemaslahatan dan kebahagiaan fitrah tersebut.
- Pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu perkembangan ke perkembangan lainnya.
- Peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah swt menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syariat agama Allah.[13]
Dengan demikian, kajian atas konsep pendidikan Islam membawa
kita pada konsep syariat agama, karena agamalah yang harus menjadi akar
pendidikan kita. Artinya, seluruh tabiat manusia harus menunjukkan tabiat
beragama.
Jadi, pendidikan Islam merupakan suatu tabiat yang sekaligus
amanat yang harus diperkenalkan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya,
terutama dari orang tua atau pendidik kepada anak-anak dan murid-muridnya.
Dalam hal ini, konsep pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan
perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Artinya, manusia tidak
merasa keberatan atas ketetapan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana digambarkan dalam
QS. al-Nisa (5): 65 yang menyatakan :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا(65)
Terjemahnya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[14]
Dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa keselamatan manusia
dari kerugian dan azab Allah dapat tercapai melalui tiga bentuk pendidikan,
yakni; pertama, pendidikan individu yang membawa manusia pada keimanan dan
ketundukan kepada syariat Allah serta beriman kepada yang gaib; kedua,
pendidikan diri yang membawa manusia pada amal saleh dalam menjalani hidupnya
sehari-hari; dan ketiga, pendidikan masyarakat yang membawa manusia pada sikap
saling pesan dalam kebenaran dan saling memberi kekuatan ketika menghadapi
kesulitan yang pada intinya, semuanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah.
Yang jelas, konsep pendidikan Islam di sini adalah proses
pembentukan pribadi muslim yang mampu mewujudkan keadilan Ilahiah dalam
komunitas manusia serta mampu mendayagunakan potensi alam dengan pemakaiannya
yang adil.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam, ada yang bersifat umum dan ada yang
bersifat khusus. Untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam yang bersifat umum,
terlebih dahulu harus diketahui eksistensi manusia yang sempurna atau hakekat
manusia menurut Islam. Dengan kata lain, konsepsi manusia yang sempurna menurut
Islam sangat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Konsep manusia menurut Islam adalah makhluk yang
memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia
dapat ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada
Tuhan, dalam arti yang seluas-luasnya. Karena itu, perumusan tentang tujuan
pendidikan Islam terlebih dahulu dikaitkan dengan uraian tentang tujuan dan
tugas manusia.
Manusia hidup bukan hanya kebetulan dan sia-sia, ia
diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Indikasi tugasnya
berupa ibadah (sebagai abdullah) dan tugas sebagai wakil Allah di bumi
(khalifah). Sebagai Abdullah yang berperan sebagai khalifah, manusia dibekali
dengan berbagai macam fitrah yang cenderung pada al-hanîf (rasa kerinduan akan
kebenaran dari Tuhan), berupa agama Islam sebatas kemampuan dan kapasitas
ukuran yang ada.
Dimensi-dimensi ideal Islam mengandung nilai yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia, untuk mengelola dan
memanfaatkannya dunia sebagai bekal kehidupan akhirat. Dengan keseimbangan dan
keserasian antara dua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal yang dapat menolak
pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda
ketentraman dan ketenangan hidup manusia baik yang bersifat spiritual, sosial,
kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia muslim.[15]
Uraian di atas, mengantar pada perumusan tujuan Pendidikan
Islam yang bermuara pada pengabdian totalitas kepada Allah, dan dengan
pengabdian itu maka ia menjadi manusia muslim dalam arti ia berkepribadian
muslim.
Dengan upaya mewujudkan kepribadian muslim, maka agama Islam
dalam konsep pendidikannya, mengarahkan secara integral obyeknya ditujukan
kepada manusia untuk berkepribadian ideal, sehingga tidak akan tertinggal dan
terabaikan, baik dari segi jasmani maupun rohani, baik kehidupan secara mutlak
maupun segala kegiatan di alam syahada ini (bumi). Islam memandang manusia
secara totalitas, atas dasar fitrah yang diberikan dari Allah kepada hambaNya,
tidak sedikit pun yang diabaikan dan tidak memaksa apapun selain apa yang
dijadikanNya sesuai dengan fitrahnya.
Pandangan tersebut memberikan petunjuk dengan jelas bahwa
dalam rangka mencapai tujuan kepribadian muslim, Islam mengupayakan pembinaan
seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang.
Terkait dengan itu, maka seluruh potensi yang dimiliki
manusia diharapkan dapat berfungsi sebagai pengabdi dan sebagai khalifah di
bumi ini. Atas dasar itu M. Quraish Shihab berpendapat bahwa tujuan pendidikan
Alquran (Islam) adalah membina manusia muslim secara pribadi dan kelompok,
sehingga mereka mampu menjalankan khalifahnya,[16] guna membangun dunia sesuai
dengan konsep yang ditetapkan Allah, atau dengan kata lain untuk bertakwa
kepada Allah swt.
Dengan demikian, pendidikan harus mampu membina, mengarahkan
dan melatih semua potensi jasmani, jiwa dan akal manusia secara optimal agar
dapat melaksanakan fungsinya sebagai “khalifah”. Di samping itu, mengisyaratkan
perlunya parencanaan tujuan pendidikan yang sesuai dengan situasi masyarakat.
Adapun tujuan khusus Pendidikan Islam, dapat dikaitkan
dengan tujuan keagamaan itu sendiri yang meliputi :
pembinaan akhlak menyiapkan
anak didik untuk hidup dunia dan akhirat penguasaan ilmu,
dan keterampilan bekerja dalam masyarakat.[17]
Tujuan-tujuan di atas, meliputi ciri khas yang harus
dimiliki seorang muslim, dan dari situ dapat diketahui bahwa tujuan khusus
pendidikan keagamaan memiliki indikator sebagai berikut:
- mengarahkan manusia muslim menjadi khalifah yakni melaksanakan tugas untuk memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
- mengarahkan manusia muslim dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu, dalam rangka beribadah kepada Allah swt.
- mengarahkan manusia muslim untuk berakhlak mulia, sehingga tidak melenceng dari fungsi kekhalifahan.
- mengarahkan semua potensi manusia muslim (akal, jiwa dan fisik) untuk memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan dalam rangka mendukung tugas pengabdian dan fungsi kekhalifahannya.
Manusia muslim yang memiliki ciri-ciri tersebut secara umum
adalah kepribadian manusia yang ideal dan dapat diistilahkan sebagai insan
kamil, atas dasar ini dapat dikatakan bahwa para ahli pendidikan Islam pada
hakekatnya sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia
insan kamil, yakni manusia sempurna yang dalam kehidiupannya senantiasa
beribadah kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka
bumi. Dengan tujuan tersebut, kemudian ahli pendidikan Islam, dijadikannya
sebagai tujuan umum pendidikan Islam. Dalam kaitan ini, Ahmad Tafsir mengatakan
bahwa untuk keperluan pelaksanaan pendidikan Islam sebenarnya ada yang bersifat
umum, khusus, dan operasional.[18]
Adapun penjabaran tujuan umum atau tujuan akhir pendidikan
Islam yang menjadi tujuan khusus ini, menuntut tugas dan fungsi manusia secara
filosofis sebagai berikut:
- Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
- Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidup.
- Tujuan profesional yang menyangkut mengenai pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses pendidikan, ketiga tujuan di atas dicapai
secara integral, tidak terpisah dari satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan
tipe manusia muslim paripurna seperti yang dikehendaki oleh ajaran Islam.
Dalam pelaksanaan tujuan tersebut dapat dibedakan dalam dua
macam tujuan, yakni tujuan operasional dan fungsional. Tujuan operasional yaitu
suatu tujuan yang dicapai menurut program yang telah
ditentukan/ditetapkan dalam kukrikulum. Akan tetapi adakalanya tujuan
fungsional belum tercapai oleh karena beberapa sebab, misalnya produk
kependidikan belum siap dipakai di lapangan karena masih memerlukan latihan
keterampilan tentang bidang keahlian yang hendak diterjuni, meskipun
secara operasional tujuannya telah tercapai.
Sedangkan tujuan fungsional yaitu tujuan yang dicapai dalam
arti kegunaan, baik aspek teoritis maupun aspek praktis, meskipun kurikulum
secara operasional belum tercapai. Misalnya produk pendidikan telah mencapai
keahlian teoritis ilmiah dan juga kemampuan/keterampilan yang sesuai dengan
bidangnya, akan tetapi dari aspek administratif belum selesai. Oleh karena itu,
produk pendidikan yang paripurna adalah bilamana dapat menghasilkan anak didik
muslim yang telah siap pakai dalam bidang keahlian yang dituntut dunia kerja
dan lingkungannya.
Prinsip-Prinsip Pendidikan
Islam
Jika pendidikan Islam ditelusuri prinsip-prinsip dalam
bentuk operasionaliasi, maka sesungguhnya ia merujuk pada sumber ajaran Islam
itu sendiri, terutama Alquran dan Hadis.
Adapun prinsip-prinsip pendidikan Islam secara makro dalam
pandangan Drs. Abd. Halim Soebahar, MA terdiri atas enam, yakni prinsip tauhid,
prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip persamaan, prinsip pendidikan
seumur hidup dan prinsip keutamaan.[19]
1. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid dimaksudkan sebagai faham meng-Esa-kan Tuhan
dan merupakan hal penting dalam pendidikan Islam. sebagai konsekuensi logis
dari prinsip tauhid adalah munculnya konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang
tulus, bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak.
2. Prinsip Integrasi
Prinsip integrasi adalah memahami bahwa dunia merupakan
jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersipakan manusia secara utuh
merupakan hal yang tidak dapat dielakkan, agar masa kehidupan duniawi
benar-benar bermanfaat sebagai bekal kehidupan akhirat. Di sinilah pentingnya
prinsip integrasi dalam pendidikan Islam, agar semua pihak yang terkait dapat
mengendalikan diri dalam berperilaku sesuai keinginan agama.
3. Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam merupakan
kemestian, yakni keseimbangan mental dan spritual, unsur jasmani dan rohani.
Betapapun manusia telah sampai pada tingkat pengalaman spritual yang tinggi,
puncak dan berada di hadirat Tuhan, namun unsur material harus tetap
terpelihara.
4. Prinsip Persamaan
Prinsip ini berasal dari prinsip yang pertama dan prinsip
dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal. Maksudnya, dalam pendidikan
Islam tidak ada istilah diskriminasi jenis kelamin, kedudukan sosial dan
bangsa, maupun suku, warna kulit dan ras, sehingga budak sekalipun berhak
mendapat pendidikan. Seperti diketahui dalam sejarah bahwa budak perempuan
merupakan status manusia yang paling rendah di kalangan masyarakat pra-Islam.
namun, Islam datang mengangkat derajat mereka dan mereka memperoleh hak yang
sama dalam bidang pendidikan.
5. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Islam menuntut pemeluknya untuk tidak berhenti belajar dan
memulainya sedini mungkin. Secara historis, ide gagasan pendidikan seumur hidup
sungguh merupakan salah satu prinsip pendidikan Islam. Sesungguhnya prinsip ini
bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan dengan
keterbatasan manusia sepanjang hidupnya dihadapkan kepada berbagai tantangan
dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dengan
demikian, manusia dituntut untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dirinya
sepanjang hayat.
6. Prinsip Keutamaan
Prinsip keutamaan merupakan inti segala kegiatan pendidikan.
Keutamaan ibarat ruh bagi upaya pendidikan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa
pendidikan bukanlah sekadar proses mekanik, me-lainkan merupakan suatu proses
yang dimiliki ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada
keutamaan-keutamaan, yakni keutamaan nilai-nilai moral.
Dengan mengetahui prinsip-prinsip pendidikan Islam sebagai
mana yang telah dikemukakan, maka setiap manusia muslim bertanggung jawab
menyelenggarakan pendidikan. Mereka ber-kewajiban secara moral mengarahkan
perkembangan pribadi anak-anak mereka melalui pendidikan di lingkungan
keluarga. Sebagai konsekuensinya, maka dalam ajaran Islam mutlak membutuhkan
pendidikan secara informan dalam rumah tangga.
Berkenaan dengan uraian-uraian di atas, maka pada prinsipnya
orientasi pendidikan Islam berdasarkan pada prinsip tauhid, integrasi dan
keseimbangan, prinsip persamaan, prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip
tauhid mewarnai dan memberikan inspirasi munculnya prinsip-prinsip pendidikan
Islam lain seperti prinsip bahwa Allah swt. adalah Tunggal secara mutlak, Dia
satu-satunya pencipta dan menimbulkan kesadaran bahwa hidup ini berasal dari-Nya
dan menuju kepada-Nya. Tuhan adalah asal dan tujuan hidup manusia, bahkan
seluruh makhluk-Nya. Dengan prinsip tauhid, memunculkan konsekuensi dalam
bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang
serba mutlak. Pengakuan ini merupakan kelanjutan logis hakikat konsep ketuhanan
bahwa Dia adalah kebenaran mutlak. Seluruh pencarian manusia, harus menuju
kepada-Nya. Oleh karena itu, pendidikan Islam dengan prinsip ini, menuntut
adanya semangat mujahadah, dan orang yang ber-mujahadah dalam keadaan sangat
mungkin mengetahui Tuhan. Jadi yang harus dilakukan adalah berusaha keras terus
menerus dan penuh kesungguhan (mujahadah, ijtihad) untuk mendekatkan (taqarrub)
diri kepada-Nya.
Mengenai orientasi pendidikan Islam dengan prinsip integrasi,
adalah bahwa manusia diharapkan mempersiapkan dirinya secara utuh untuk
memanfaatkan kehidupan dunia sebagai bekal di hari akhirat. Hal ini berlaku
bagi pendidik dan peserta didik, agar nikmat apapun yang didapatinya di dalam
kehidupan dunia harus diabdikan untuk mencari kelayakan-kelayakan yang tentunya
mematuhi kemauan Allah swt.[20] Prinsip integrasi ini, identik dengan orientasi
pendidikan Islam dalam aspek prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara
material dan spiritual. Dalam banyak ayat, Allah swt. menyebutkan iman dan amal
secara bersamaan. Iman adalah unsur yang berkait dengan hal spiritual,
sementara amal atau karya adalah yang berkaitan dengan material. Allah swt.
menegaskan bahwa “manusia dalam keadaan merugi, kecuali mereka yang beriman dan
beramal shaleh”.[21] Ditegaskan pula bahwa “siapa yang beramal berupa karya
yang shaleh dan ia beriman, usahanya tidak akan sia-sia”.[22] Dengan demikian,
pendidikan Islam sesungguhnya mengisyaratkan bahwa betapapun manusia telah
sampai pada tingkat pengalaman spiritual yang tinggi, puncak dan berada di
hadirat Tuhan, unsur material harus tetap terpelihara.
Selanjutnya orientasi pendidikan Islam dengan prinsip
persamaan, dan hal ini berdasar pada kenyataan bahwa manusia mempunyai kesatuan
asal, tidak ada diksriminasi jenis kelamin, kedudukan sosial, dan bangsa,
maupun antara suku, warna kulit, dan ras. Dari prinsip persamaan pula muncul
konsep-konsep yang lebih rinci mengenai kebebasan dan demokrasi.
Yang terakhir, orientasi pendidikan Islam dengan prinsip
pendidikan seumur hidup (life long education) yang berarti bahwa pendidikan
masa sekolah bukanlah satu-satunya masa setiap orang untuk belajar, melainkan
hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung seumur hidup. Dalam
sisi lain konsep pendidikan seumur merumuskan asas bahwa pendidikan adalah
proses yang terus menerus (kontinyu) berlangsung mulai dari bayi sampai
meninggal dunia. Dalam tataran aplikasinya, maka pendidikan seumur hidup
tersebut, tentu ditujukan kepada siapa saja, tanpa mengenal batas usia dan
jenis kelamin, yakni anak-anak maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan.
[1]Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan (Cet.I; Jakarta: Rineka
cipta, 1991), h. 69
[2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 232.
[3]John Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris – Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 1981), h. 81.
[4]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Cet. I; Jakarta:
Hidakarya Agung, 1989), h. 137.
[5]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet.I; Jakarta:
Kalam Mulia, 1994), h. 1
[6]Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1988), h. 3.
[7]Mahmud Yunus, op. cit., h. 177.
[8]Lihat QS. Ali Imran (3): 83
[9]Lihat QS. al-Shaf (61): 9
[10]Lihat QS. al-Taubah (9): 36.
[11]Lihat QS. al-Rum (30): 39.
[12]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), h. 10.
[13]Abdurrahman al-Nahlawy, Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Asalibuha, diterjemahkan oleh Herry Noor Ali dengan judul Prinsip-Prinsip dan
Metode Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: IKAPI, 1992), h. 21
[14]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya
(Surabaya: Mahkota, 1989), h. 129.
[15]Lihat H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan
Islan dan Umum (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 3-4.
[16]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan
peran wahyu dalam Kehdiupan Masyarakat (Cet. II; Bandung: Mizan, 1992), h. 173.
[17]M. Athiyyah al-Abrasy, al-Tarbiyah Islamiyah yang
diterjemahkan oleh Bustami A. Gani et. all., dengan judul Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam. (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), h. 1.
[18]Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992) h. 49
[19]Uraian lebih lanjut, lihat H. Abd. Halim Soebahar,
Wawasan Baru Pendidikan Islam (Cet. I; JakartaL Kalam Mulia, 2002), h. 71-86.
[20]Abd. Halim Soebahar, op. cit., h. 74.
[21]Lihat QS. al-Ashr (103): 2-3.
[22]Lihat QS. al-Anbiya’ (21): 94.
No comments:
Post a Comment