Oleh: M.Nur K. Amrullah
Awal
mula proses pendidikan di dunia ini diawali dari kebutuhan hidup
manusia, untuk terus mencari jati diri sebagai manusia yang unggul
dibandingkan makhluk lain. Maka tak heran jika banyak filosofi kehidupan
dan teks-teks suci selalu menobatkan manusia sebagai makhluk paling
sempurna, maka misi menjadi makhluk sempurna-terbatas ini harus menjadi
tidak sekedar pengakuan dan keakuan, tapi harus bisa diwujudkan sebagai
sebuah sistem nyata yang bisa bekerja untuk pembuktian dan proses
pewujudan manusia sebagai makhluk paling sempurna. Mungkin kita sering
mendengar bahwa tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah memanusiakan manusia, artinya ada potensi manusia bisa menjadi bukan manusia yang harus ditangkal oleh pendidikan.
Selama ini sudah banyak berkembang teori
pendidikan, untuk menunjukkan bahwa dunia pendidikan tidak pernah
berhenti melakukan inovasi dan melakukan penggalian khasanah potensi
positif pada manusia, tapi sayangnya tidak banyak diantara para pendidik
yang berani melakukan proses kreatif dengan cara membongkar dan
mendiagnosis praktik-praktik tradisional dalam proses pendidikan, ini
sering terjadi di sekolah-sekolah formal. Pendidik cenderung menjadikan
proses pendidikan dan pembelajaran sebagai kegiatan rutin yang acap kali
tak memiliki toleransi terhadap minat dan bakat siswa. Siswa
diperlakukan seperti pasien yang harus tunduk dan patuh dalam asupan
dosis belajar yang telah dibuat pendidik, maka tak mengherankan jika
dikemudian hari siswa-siswa kita hanya pintar menggunakan otak dan
memainkan bahasa, tapi lemah integrasi sikap social dan tanggung
jawabnya.
Pendidikan Transgresif, Bagaimana Memulainya?
Transgresif adalah adopsi dari kata
transgress yang berarti proses yang melewati batas-batas logika dan
aturan yang mengangkang, sedangkan Pendidikan Transgresif yang penulis
maksud adalah upaya untuk melakukan pendesainan ulang (redesign)
terhadap pendidikan agar mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin
sulit diprediksi, menanamkan nilai-nilai anti stagnasi dan pada
akhirnya akan mewujudkan manusia pendidikan yang mampu menjadi manusia
pionir.
bersambung………………….Komentar : 2 Komentar »
Kategori : Teknologi Pendidikan, Wacana Pendidikan
ARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
28 12 2009
Pendidikan
Indonesia sudah kehilangan arah. Pendidikan di Indonesia dalam bentuk
sekolah telah tercerabut dari akar kesejarahan sistem pendidikan
nasional. Pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi bertumpu pada
nilai-nilai dasar pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang
menyadarkan dan pendidikan yang memanusiakan manusia muda dan
pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Pendidikan di Indonesia hanya
berorientasi pasar.
Buktinya, pemerintah sekarang sedang menggalakkan pendidikan tingkat
satuan pendidikan menengah atas berbasis kerja, yaitu sekolah menengah
kejuruan (SMK). Pemerintah berencana akan mengubah pola pendidikan
Indonesia dengan perbandingan 70% untuk SMK dan 30% untuk sekolah
menengah atas (SMA). Lulusan SMA dalam pandangan pemerintah hanya
menghasilkan lulusan tidak siap kerja kalau tidak mau disebut
pengangguran. Maka, guna mengurangi angka pengangguran, pemerintah
melakukan ‘terobosan’ dengan menciptakan SMK. Lulusan SMK dalam
pandangan pemerintah lebih siap untuk bekerja dan mengurangi
pengangguran.
Bukan fase bekerja
Pendidikan di Indonesia hanya dimaknai sebagai salah satu untuk
mendapatkan pekerjaan agar tidak menjadi pengangguran (link and match).
Padahal, link and match pernah dikritik Soetandyo Wignyosoebroto, Guru
Besar Emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Menurut Pak
Tandyo–begitu orang menyapanya–sekolah itu bekal untuk menata hidup yang
lebih baik. Bukan fase yang harus dilalui sebelum bekerja. Kalau
konsepnya seperti itu, betapa sempitnya dunia pendidikan (Agus Wahyudi:
2006).
Kritikan Pak Tandyo itu cukup beralasan. Pendidikan bukan salah satu
fase untuk bekerja. Pendidikan adalah proses hidup. Jadi pendidikan
dalam bentuk sekolah bukan untuk bekerja. Maka dari itu, konsep
pemerintah membangun SMK secara besar-besaran itu pada dasarnya
menunjukkan pemerintah saat ini sudah keblinger. Salah jalur. Tidak tahu
filosofi pendidikan.
Lebih dari itu, penyiapan tenaga kerja siap pakai ala SMK juga tidak
sesuai dengan iklim Indonesia. Indonesia bukan negara industri yang
membutuhkan banyak tenaga kerja siap pakai seperti Jepang. Indonesia
masih menjadi negara agraris. Kalau toh kita akan menjadi negara
industri, Indonesia sudah tidak lagi mempunyai sumber daya alam sebagai
modal. Sumber daya alam Indonesia sudah dikeruk dan dikuras habis oleh
korporasi internasional. Masyarakat Indonesia sekarang tinggal menunggu
kehancuran bumi Indonesia. Hal itu karena daya isap korporasi tidak akan
menyisakan sedikit pun sumber daya alam untuk masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia akan menjadi asing dan miskin di negerinya sendiri.
Tenaga kerja instan
Pembangunan sumber daya manusia melalui SMK dengan mengabaikan
filosofi pendidikan hanya akan menghasilkan buruh-buruh yang keringat
mereka diperas untuk memuaskan nafsu serakah korporasi internasional.
Mereka hanya akan dibayar dengan upah murah. Sewaktu-waktu mereka dapat
diberhentikan dengan paksa.
Apakah pemerintah sekarang sempat berpikir seperti itu? Tampaknya,
pemerintah tidak memedulikan hal tersebut. Yang ada dalam otak pembuat
kebijakan yang keliru itu adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja
instan (siap) kerja dalam waktu cepat sehingga kinerja pemerintahan
dapat dinilai dengan nilai A. Pemerintah pun dapat mengklaim telah
berhasil mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan karena anak-anak
orang miskin sekarang sudah sekolah di SMK dan siap bekerja dengan
kemampuan dan keterampilan mereka.
Pemerintah lebih bangga melihat banyak masyarakat bekerja dengan
ketidakberdayaan daripada melihat masyarakatnya mandiri karena mereka
memiliki ilmu dan pengalaman yang memerdekakan.
Program pendidikan siap kerja melalui SMK merupakan program
prestisius miskin strategi dan makna. Ia tidak ubahnya seperti program
penggemukan sapi yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah. Sapi
yang semula kecil diberi makan sebanyak mungkin, setelah itu sapi siap
jual dengan harga tinggi.
Pemerintah dengan program itu hanya ingin menyombongkan diri dengan
data statistik bawah periode pemerintahan kali ini telah berhasil
membuat kebijakan yang dibutuhkan masyarakat, yaitu lulus langsung
kerja. Padahal sebagaimana kita ketahui, data statistik selalu saja bisa
‘diperjualbelikan’ sesuai dengan keinginan penguasa.
Oleh Benni Setiawan, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional
No comments:
Post a Comment