Kalau anak-anak orang Islam masa
kini ditanya mau jadi apa kelak, jawabnya hampir seragam “jadi dokter”, “jadi
insinyur” atau “jadi konglomerat”. Orang tua pun akhirnya akur dengan kemauan
anaknya. Ini tentu tidak salah. Tapi hanya menunjukkan suatu imej bahwa
pendidikan telah menjadi sarana mencari materi. Anak-anak belajar di sekolah
atau universitas, lulus, kemudian bekerja, berpenghasilan dan hidup bahagia.
Itu saja. Di sini nilai dan orientasi material lebih dominan ketimbang
orientasi moral. Fenomena itu terlihat pula di sekolah-sekolah Islam, yang
terpengaruh dengan paham materialisme. Jika tujuan pendidikan Barat adalah
untuk menjadi warga negara yang baik, maka pendidikan Islam untuk menjadi
manusia yang baik (insan kamil). Jika target pendidikan di Barat untuk
meningkatkan ekonomi negara, maka pendidikan Islam untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia lahir batin. Keduanya jelas beda. Pendidikan dalam Islam
bukan sarana mencari materi saja. Dimensi pendidikan Islam dapat dilihat dari
makna yang terkandung dalam istilah tarbiyah yang berarti pengasuhan,
pendidikan, ta’lim pengajaran ‘ilm, atau ta’dib yang berarti penanaman ilmu dan
adab. Masalahnya kini umat Islam cenderung mamahami pendidikan sekolah hanya
sebatas makna ta’lim pengajaran (pengajaran ilmu). Sedangkan tarbiyah
(pendidikan) dilakukan diluar sekolah. Sepertinya ta’lim dipahami sebagai
pendidikan formal dan tarbiyah sebagai pendidikan non-formal atau informal
dalam pengertian Barat. Akhirnya ta’lim tidak berupa pengajaran ‘ilm yang
mengarah pada keimanan dan ketaqwaan dan tidak berdimensi tarbiyah. Sedangkan
tarbiyah nya tidak berunsur ta’lim. Nampaknya nilai-nilai dualisme,
sekularisme, dan humanisme telah masuk ke dalam konsep pendidikan kita. Dengan
nilai dualisme pengajaran dipisahkan dari pendidikan, dengan sekularisme ilmu
yang diajarkan dibagi menjadi ilmu dunia dan ilmu akherat. Dengan nilai
humanisme pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk kepentingan manusia yang
tidak ada kaitannya dengan Tuhannya. Ilmu akhirnya tidak lagi untuk ibadah tapi
untuk kemakmuran manusia. Belajar menjadi sarana mencari uang atau kekayaan.
Karena kerancuan konsep maka nilai-nilai adab menjadi semakin kabur. Ilmu tidak
membuat orang beradab, malah bisa biadab. Ilmu justru dapat mengurangi iman dan
menjauhkan orang dari hikmah ilahiyah. Menurut Prof. Naquib al-Attas kekaburan
makna adab atau kehancuran adab tersebut mengakibatkan kezaliman (zulm),
kebodohan (jahl), dan kegilaan (junun). Artinya karena kurang adab maka seseorang
akan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (zalim), melakukan cara yang salah
untuk mencapai hasil tujuan tertentu (jahil) dan berjuang berdasarkan kepada
tujuan dan maksud yang salah (junun).
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM Jika makna
pendidikan Islam telah terdistorsi oleh konsep-konsep dari Barat, maka
konsepnya sudah tentu bergeser dari konsep dasar pendidikan Islam. Konsep
pendidikan Islam mestinya tidak menghasilkan SDM yang memiliki sifat zulm, jahl
dan junun. Artinya produk pendidikan Islam tidak akan mengambil sesuatu yang
bukan haknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (zalim), tidak
menempuh cara yang salah dalam mencapai tujuan (jahil) dan tidak salah dalam
menentukan tujuan hidup. Oleh sebab itu pendidikan Islam harus di-reorientasikan
pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup Islam, yang dimulai
dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral maka harus
dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah. Artinya
pendidikan harus diartikan sebagai upaya mengembangkan individu sesuai dengan
fitrahnya. Seperti yang tertuang dalam al-A’raf, 172 manusia di alam ruh telah
bersyahadah bahwa Allah adalah Tuhannya. Inilah sebenarnya yang dimaksud hadith
Nabi bahwa “manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah..” Fitrah tidak hanya
terdapat pada diri manusia, tapi juga pada alam semesta. Pada keduanya Allah
meletakkan ayat-ayat. Namun karena fitrah manusia tidak cukup untuk memahami
ayat-ayat kauniyyah, Allah menurunkan al-Qur’an sebagai bekal memahami ayat-ayat
pada keduanya. Pada ketiga realitas tersebut (diri, alam dan kalam Allah yakni
al-Qur’an) terdapat ayat-ayat yang saling berkaitan dan tidak bertentangan.
Oleh sebab itu jika manusia dengan fitrahnya melihat ayat-ayat kauniyyah
melalui ayat-ayat qauliyyah, maka ia akan memperoleh hikmah. Agar konsep dan
praktek pendidikan Islam tidak salah arah, perlu disusun sesuai dengan fitrah
manusia, fitrah alam semesta dan fitrah munazzalah, yaitu al-Qur’an. Jika
proses pendidikan itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan
rasa berkeadilan dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala
sesuatu pada tempat dan maqamnya. Artinya, pendidikan Islam harus mengandug
unsur iman, ilmu dan amal agar anak didik dapat memilih yang baik dari yang
jahat, jalan yang lurus dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah
(batil). Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (ta’lim)
dan meninggalkan aspek afektif (amal dan akhlaq). Pendidikan yang terlalu
intelektualistis juga bertentangan dengan fitrah. Al-Qur’an mensyaratkan agar
fikir didahului oleh zikir (Ali Imran 191). Fikir yang tidak berdasarkan pada
zikir hanya akan menghasilkan cendekiawan yang luas ilmunya tapi tidak saleh
amalnya. Ilmu saja tanpa amal, menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal
tanpa ilmu itu sombong. Dalam pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan
ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu. Begitulah,
pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu pendidikan yang beradab.
BAB III KONSEP PENDIDIKAN UNTUK GENERASI MUSLIM BERKUALITAS Islam dikenal
sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun Islam bukanlah hasil
ijtihad atau pemikiran beliau saw. Akan tetapi langsung berasal dari Allah SWT.
Di antara agama (syariat) yang pernah diturunkan Allah, Islam adalah yang agama
terakhir yang paling sempurna seperti firman Allah SWT: “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah
Kuridloi Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al-Maidah [5]: 3). Kesempurnaan
Islam ditandai antara lain dengan ketercakupan semua aktivitas manusia di semua
aspek kehidupan di dalam aturan-aturannya, juga kemampuan Islam memecahkan
semua masalah yang muncul di dalamnya. Tidak ada satu perbuatan manusia pun
yang tidak ada aturannya dalam Islam. Di dalam Islam telah ditetapkan bahwa
setiap amal perbuatan harus terikat dengan aturan Islam. Firman Allah SWT: “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7). Sabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak didasarkan pada perintah kami,
maka tertolak.” Dengan demikian ajaran Islam sempurna dan kaum muslimin harus
mengikatkan setiap aktivitasnya dengan aturan-aturan Islam yang sempurna,
termasuk juga aktivitasnya dalam membentuk generasi mendatang yang berkualitas.
A. Tujuan Pendidikan Islam Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar,
terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia
yang: (1) memiliki kepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3)
menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan (4) memiliki ketrampilan yang memadai.
1. Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) “Tidaklah beriman
salah seorang diantara kalian, sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti
apa-apa (dinul Islam) yang kubawa” (Hadist Arba’in An-Nawawiyyah) Kepribadian
Islam merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam kehidupannya.
Kepribadian Islam seseorang akan tampak pada pola pikirnya (aqliyah) dan pola
sikap dan tingkah lakunya (nafsiyah) yang distandarkan pada aqidah Islam. Pada
prinsipnya terdapat tiga langkah dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian
Islam sebagaiman yang pernah diterapkan Rasulullah Saw. Pertama, melakukan
pengajaran aqidah dengan teknik yang sesuai dengan karakter aqidah Islam yang
merupakan aqidah aqliyyah (aqidah yang muncul melalui proses perenungan
pemikiran yang mendalam). Kedua, mengajaknya untuk selalu bertekat
menstandarkan aqliyyah dan nafsiyyahnya pada aqidah Islam yang dimilikinya.
Ketiga, mengembangkan aqliyyah Islamnya dengan tsaqofah Islam dan mengembangkan
nafsiyyah Islamnya dengan dorongan untuk menjadi lebih bertaqwa, lebih dekat
hubungannya dengan Penciptanya, dari waktu ke waktu. Seseorang yang beraqliyyah
Islam tidak akan mau punya pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Semua pemikiran dan pendapatnya selalu sesuai dengan keislamannya. Tidak pernah
keluar pernyataan: “Dalam Islam memang dilarang, tetapi menurut saya itu
tergantung pada pribadi kita masing-masing.” Harusnya pendapat yang keluar
contohnya adalah “Sebagai seorang muslim, tentu saya berpendapaat hal itu
buruk, karena Islam mengharamkannya.” Ketika ia belum mengetahui bagaimana
ketetapan Islam atas sesuatu, maka ia belum berani berpendapat mengenai sesuatu
itu. Ia segera menambah tsaqofah Islamnya agar ia segera bisa bersikap terhadap
sesuatu hal yang beru baginya itu. Seseorang yang bersikap dan bertingkah laku
(bernafsiyyah) Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan
pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Ketika muncul
dorongan untuk makan pada dirinya, ia akan makan makanan yang halal baginya
dengan tidak berlebih-lebihan. Ketika muncul rasa tertariknya pada lawan jenis,
ia tidak mendekati zina, namun ia menyalurkan rasa senangnya kepada lawan jenis
itu lewat pernikahan. Nafsiyyah seseorang harusnya semakin lama semakin
berkembang. Kalau awalnya ia hanya melakukan yang wajib dan menghindari yang
haram, secara bertahap ia meningkatkan amal-amal sunnah dan meninggalkan yang
makruh. Dengan semakin banyak amal sunnah yang ia lakukan, otomatis semakin
banyak aktivitas mubah yang ia tinggalkan. Seorang yang berkepribadian Islam
tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan, tidak berubah menjadi
malaikat. Hanya saja ketika ia khilaf melakukan kesalahan, ia segera sadar
bertobat kepada Allah dan memperbaiki amalnya sesuai dengan Islam kembali. 2.
Mengusai Tsaqofah Islam “Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama orang-orang yang
berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs. az-Zumar
[39]: 9). Berbeda dengan ilmu pengetahuan (science), tsaqofah adalah ilmu yang
didapatkan tidak lewat eksperimen (percobaan), tetapi lewat pemberitaan,
pemberitahuan, atau pengambilan kesimpulan semata. Tsaqofah Islam adalah
tsaqofah yang muncul karena dorongan seseorang untuk terikat pada Islam dalam
kehidupannya. Seseorang yang beraqidah Islam tentu ingin menyesuaikan setiap
amalnya sesuai dengan ketetapan Allah. Ketetapan-ketetapan Allah ini dapat
difahami dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah. Maka ia
terdorong untuk mempelajari tafsir al-Qur’an dan mempelajari hadist. Karena
al-Qur’an dan hadist dalam bahasa Arab, maka ia harus mempelajari Bahasa Arab.
Karena teks-teks al-Qur’an dan hadist memuat hukum dalam bentuk garis besar,
maka perlu memiliki ilmu untuk menggali rincian hukum dari al-Qur’an dan hadist
yaitu ilmu ushul fiqh. Pada saat seseorang belum mampu memahami ketentuan Allah
langsung dari teks Al Qur’an dan hadist karena keterbatasan ilmunya, maka ia
bertanya tentang ketetapan Allah kepada orang sudah memahaminya, dengan kata
lain ia mempelajari fiqh Islam. Demikianlah Bahasa Arab, Tafsir, Ilmu Hadist,
Ushul Fiqh, dan fiqh merupakan bagian dari tsaqofah Islam. Dengan tsaqofah
Islam, setiap muslim dapat memiliki pijakan yang sangat kuat untuk maju dalam
kehidupan sesuai dengan arahan Islam. 3. Menguasai Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Iptek) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinyamalam
dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”
(Qs. Ali-Imran [3]: 190). Mengusai iptek dimaksudkan agar umat Islam dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik dan optimal di
muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannya sebagai fardlu
kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat
apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti ilmu kedokteran,
rekayasa industri, dan lain-lain. 4. Memiliki Ketrampilan Memadai “Siapkanlah
bagi mereka kekuatan dan pasukan kuda yang kamu sanggupi.” (Qs. al-Anfaal [8]:
60). Penguasaan ketrampilan yang serba material, misalnya ketrampilan dalam
industri, penerbangan dan pertukangan, juga merupakan tuntutan yang harus
dilakukan oleh umat Islam dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Sebagaimana halnya iptek, Islam juga menjadikannya sebagai
fardlu kifayah. Harus ada yang menguasainya pada saat umat membutuhkannya. B.
Pendidikan Dilaksanakan Sesuai Tahap Perkembangan Anak Ahmad Zaki Shaleh
membagi lima fase perkembangan anak sebelum baligh yaitu: 1. Fase prenatal
(sebelum lahir) 2. Masa bayi (0 – 2 tahun) 3. Masa awal kanak-kanak (3 – 5
tahun) 4. Pertengahan masa kanak-kanak (6 – 10 tahun) 5. Akhir masa kanak-kanak
(10 – 14 tahun) Keberhasilan pendidikan anak sampai masa awal kanak-kanak
(balita) terutama ditentukan oleh pihak keluarga, karena banyak dilakukan oleh
keluarga dan dalam lingkungan keluarga. Sedangkan mulai pada masa pertengahan
kanak-kanak, anak mendapatkan pendidikan di sekolah maka strategi pendidikan
yang diterapkan negaralah terutama menentukan pencapaian tujuan pendidikan anak
sesuai yang digariskan Islam. Selain keluarga dan negara, pihak lain yang
berperan dalam pendidikan anak adalah masyarakat. C. Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan terutama bagi anak.
Pendidikan di keluarga bertujuan membentuk fondasi kepribadian Islam pada anak,
yang akan dikembangkan setelah anak masuk sekolah. Pada fase prenatal terjadi
pertumbuhan yang penting di dalam rahim ibu. Suasana kesehatan dan kejiwaan ibu
sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam rahimnya.
Rangsangan yang diberikan ibu kepada anaknya dalam rahim sangat penting bagi
perkembangan selanjutnya. Ibu sebaiknya mengaktifkan komunikasi dengan anak
sejak dalam rahim. Memasuki bulan keenam dan ketujuh masa kehamilan, bayi mulai
mendengar suara-suara seperti detak jantung ibu, suara usus dan paru-paru, dan
juga suara lain di luar rahim. Semua itu didengarkan melalui getaran ketuban
yang ada dalam rahim. Suara ibu adalah suara manusia yang paling jelas didengar
anak, sehingga suara ibu selalu menjadi suara manusia yang paling disukai anak.
Anak menjadi tenang ketika ibunya menepuk-nepuk perutnya sambil membisikkan
kata manis. Hal ini akan menggoreskan memori di otak anak. Semakin sering hal
itu diulang semakin kuat guratan itu pada otak anak. Kemampuan mendengar ini
sebaiknya digunakan oleh ibu untuk membuat anaknya terbiasa dengan ayat-ayat
al-Qur’an. Karena suara ibulah yang paling jelas, maka yang terbaik bagi anak
dalam rahim adalah bacaan ayat al-Qur’an oleh ibunya sendiri, bukan dari tape
atau radio atu dari yang lain. Semakin sering ibu membaca al-Qur’an selama kehamilan
semakin kuatlah guratan memori al-Qur’an di otak anak. Masa 0 – 2 tahun
didominasi oleh aktivitas merekam sedang masa 3 – 5 tahun didominasi oleh
aktivitas merekam dan meniru. Pada masa sekarang, umumnya perkembangan anak
lebih cepat sehingga aktivitas meniru muncul lebih cepat. Pada masa-masa inilah
lingkungan keluarga memberikan nilai-nilai pendidikan lewat kehidupan
keseharian. Semua orang yang berada di lingkungan keluarga harusnya memberikan
perlakuan dan teladan yang baik secara konsisten. Ketika anak sudah mulai
bermain ke luar rumah pada masa 3 – 5 tahun keluarga harus sudah bisa
membentengi anak dari nilai-nilai atau contoh-contoh buruk yang ada di luar
rumah. Menurut Fatima Hareen (1976), masa 3-10 tahun merupakan fase-fase cerita
dan pembiasaan. Pada saat inilah terdapat lapangan yang luas bagi orangtua
untuk menggali cerita-cerita AlQur’an dan sejarah perjuangan Islam. Anak
mengenali sifat-sifat pemberani, jujur, dan mulia dari pejuang-pejuang Islam.
Masa 6 – 10 tahun adalah masa pengajaran adab, sopan santun, dan sifat-sifat
ahlaq. Juga merupakan masa pelatihan pelaksanaan kewajiban-kewajiban muslim
seperti sholat dan shaum. Rasulullah Saw bersabda: “Apabila anak telah mencapai
usia 6 tahun, maka hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” [HR. Ibnu
Hibban]. “Suruhlah nak-anakmu mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah
mereka pada usia 10 tahun bila mereka tidak sholat, dan pisahkan mereka dari
tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan).” [HR. al-Hakim dan Abu Dawud]. Masa
akhir anak-anak (10-14 tahun) merupakan rentang usia di mana anak-anak umumnya
memasuki masa baligh. Jadi masa ini anak-anak sudah dekat sekali atau bahkan
sudah baligh. Karenanya pada masa ini pemberian tugas sudah harus dilengkapi
dengan sanksi apabila mereka tidak menjalankan tugas yang diberikan. Setelah
usia 10 tahun, walaupun mereka belum baligh, kita sudah harus memukul mereka
agar mereka menjadi lebih disiplin dalam menjalankan sholat. Tentunya nasehat
dalam bentuk verbal juga tidak ditinggalkan. Demikianlah pendidikan dalam
keluarga menyiapkan anak menjadi muslim YANG BERKUALITAS yang siap menjalankan
semua taklif hukum dari Allah ketika ia memasuki usia baligh. Dari proses
pendidikan yang digambarkan di atas dapat difahami bahwa sesungguhnya ibu bukan
satu-satunya pihak yang bertanggung jawab akan pendidikan anak di dalam
keluarga. Namun memang tidak dapat disangkal bahwa ibu adalah pihak yang paling
dominan pengaruhnya dalam keberhasilan pendidikan anak karena ialah orang yang
pertama kali memberi warna pada anak. Selain itu ibu adalah pihak yang paling
dekat dengan anak sehingga dialah yang paling mudah berpengaruh pada anak.
Tidak aneh ketika Islam menempatkan ibu sebagai suatu posisi utama bagi seorang
wanita. Tugas-tugas sebagai seorang ibu harus didahulukan pelaksanaannya
apabila berbenturan dengan pelaksanaan dengan aktivitas lain. D. Pendidikan
Dalam Masyarakat Hampir sama dengan pendidikan dalam keluarga, pendidikan di
tengah masyarakat juga merupakan pendidikan sepanjang hayat lewat pengalamam
hidup sehari-hari. Masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam
membentuk perasaan taqwa di dalam diri individu. Masyarakat sangat berpengaruh
dalam mengubah perilaku individu. Masyarakat Islam juga memiliki kepekaan yang
tinggi sehingga mampu mencium penyelewengan individu dari jalan Islam dan
segera meluruskannya. Dalam pengawasannya individu tidak akan berani melakukan
kemaksiyatan secara terang-terangan. E. Pendidikan di Sekolah Di dalam Islam
menuntut ilmu adalah wajib ‘ain sebagaiman sabda Rasulullah Saw: “Menuntut ilmu
itu wajib bagi setiap muslim.” Dalam hadist lain dikatakan: “Jadilah kamu
sebagai orang alim atau sebagai orang yang menuntut ilmu, atau sebagai orang
yang mendengar ilmu, atau orang yang cinta terhadap ilmu. Akan tetapi janganlah
kalian menjadiorang yang kelima (orang yang bodoh), nanti kalian akan binasa.”
Atas dasar ini maka negara wajib menyediakan pendidikan bagi warga negaranya.
Pendidikan ini dilakukan di sekolah-sekolah. Ijma shahabat menunjukkan negara
wajib memberikan pendidikan bebas biaya kepada setiap warga negara. Karena
menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim, maka sekolah tidak bisa dibatasi
untuk anak-anak saja. Semua muslim yang sudah baligh harus mendapat jaminan
melaksanakan kewajibannya menuntut ilmu. Sedangkan penyediaan sekolah untuk
kepentingan terbetuknya generasi yang berkualitas dilakukan untuk anak-anak
yang belum baligh sejak mereka berusia 7 tahun. Untuk tercapainya tujuan
pendidikan dalam Islam yaitu membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai
tsaqofah Islam, iptek dan ketrampilan maka negara menerapkan sistem pendidikan.
Kurikulum yang digunakan tentunya bukan kurikulum yang sekuler seperti yang
kita temukan saat ini di sekolah-sekolah di Indonesia. Pada kurikulum yang kita
temukan saat ini, Islam tidak mewarnai mata pelajaran lain selain mata
pelajaran agama Islam. Ketika anak belajar sejarah, ketatanegaraan, ekonomi,
ilmu alam, dan yang lain-lain, mereka tidak menemukan kaitan antara
pelajaran-pelajaran itu dengan aqidah Islam mereka, bahkan mereka menemukan
adanya pertentangan. Mereka tidak mempelajari Siroh dan Tarikh Islam, namun
mereka belajar tentang kejayaaan bangsa-bangsa yang menjajah kaum muslimin.
Jika mereka belajar sejarah mengenai Islam , mereka mempelajari sejarah yang sudah
diputarbalikkan oleh orientalis. Mereka belajar bagaimana negara kapitalis
mengelola pemerintahan, bagaimana mereka mengelola ekonomi, sehingga mereka
tidak mengenal sistem pemerintahan dan ekonomi Islam. Maka terbentuklah
kehidupan mereka yang sekuler. Seharusnya aqidah Islam mewarnai semua mata
pelajaran yang mereka dapatkan di sekolah. F. Tiga Komponen Kurikulum Dalam
kurikulum ada tiga komponen yaitu: komponen pembentukan dan pengembangan
kepribadian Islam, komponen tsaqofah Islam, dan komponen ilmu kehidupan (iptek
dan ketrampilan). Contoh proporsi tiga komponen itu adalah 10: 45: 45. Komponen
kepribadian Islam diberikan secara konstan dan simultan dari jenjang pendidikan
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Artinya pembinaan kekokohan aqidah, dorongan
agar siswa selalu menstandarkan pemikiran, sikap dan tingkah lakunya dengan
aqidah Islam dilakukan terus menerus. Perbedaan yang ada hanya antara tingkat
dasar dan lanjutan disebabkan siswa di tingkat dasar umumnya siswa yang belum
baligh sehingga lebih banyak materi yang menumbuhkan keimanan. Baru setelah
baligh, materinya merupakan kelanjutan untuk memelihara keimanan, juga untuk
meningkatkan keimanan dan keterikatan kepada hukum syara’. Adapun komponen
tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan diberikan pada semua tingkat pendidikan
(dasar sampai PT) secara bertingkat sesuai tingkat pendidikan. KESIMPULAN
Pendidikan Islam harus di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk
kepada pandangan hidup Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep
manusia adalah sentral maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang
disebut fitrah. Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur,
terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang: (1)
memiliki kepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu
pengetahuan (iptek) dan (4) memiliki ketrampilan yang memadai. Ahmad Zaki
Shaleh membagi lima fase perkembangan anak sebelum baligh yaitu: 1. Fase
prenatal (sebelum lahir) 2. Masa bayi (0 – 2 tahun) 3. Masa awal kanak-kanak (3
– 5 tahun) 4. Pertengahan masa kanak-kanak (6 – 10 tahun) 5. Akhir masa
kanak-kanak (10 – 14 tahun) Seseorang yang bersikap dan bertingkah laku
(bernafsiyyah) Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan
pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Pendidikan Islam
tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (ta’lim) dan meninggalkan aspek
afektif (amal dan akhlaq). Pendidikan yang terlalu intelektualistis juga
bertentangan dengan fitrah. Al-Qur’an mensyaratkan agar fikir didahului oleh
zikir. Menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal tanpa ilmu itu sombong.
Dalam pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus
berdimensi iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu. Mengusai iptek dimaksudkan
agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan
baik dan optimal di muka bumi ini. DAFTAR REFERENSI
http://www.khairuddinhsb.blogspot.com http://www.pai07aw.blogspot.com
http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=189&Itemid=45
http://azzikra.com/berita/category/kolom-opini http://forum.kammi.or.id/
http://pendidikan.net/?PHPSESSID=f01e28088524e3ee5809b213c5b59d5a Sumber dari: http://www.tokoblog.net/2010/10/konsep-pendidikan-islam-dalam-keluarga.html Copyright by www.tokoblog.net.
Terima kasih menyantumkan sumber artikel toko blog
No comments:
Post a Comment