PENDIDIKAN KARAKTER: Peran Sekolah dan Keluarga
Jumat, 28
September 2012 09:42
Pendidikan karakter
kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program
prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). Meski
sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik
melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak
terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan
Kemendikbudnas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara
kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan
bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang
kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting
bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya
mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi
masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu
pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam
rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran
tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat
kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu
dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya
individu dan masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya,
pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya
perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi,
modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Krisis Karakter Bangsa
Pembicaran tentang membangun kembali watak dan karakter
guna revitalisasi kebangggaan dan kehormatan bangsa telah memenuhi ruang publik
sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang
ini—telah lebih daripada satu dasawarsa. Perubahan-perubahan dramatis, cepat
dan berjangka panjang dalam kehidupan politik yang pada gilirannya juga
menimbulkan disorientasi sosial dan kultural memunculkan wacana dan harapan
tentang perlunya pembentukan kembali watak bangsa; ungkapan Presiden pertama
RI, Soekarno tentang ‘nation and character
building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan
munculnya krisis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis
pula dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang
membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan
penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih
cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi
dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat
mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara keseluruhan.
Masa sejak masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang
sering disebut sebagai “masa reformasi” kita agaknya hanya mampu mewujudkan
sebagian dari cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter;
tetapi masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang
kehidupan saja, Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin
“terlalu demokratis”. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late democracy”,
kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk
demonstrasi yang berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum
sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu
legislatif dan Presiden 2004; Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan
Pilpres 8 Juni 2009, yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun pada
pihak lain, Pemilukada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di
berbagai daerah sering berujung konflik horizontal; keadaban nyaris lenyap
dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian politik.
Dengan begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami
berbagai disorientasi. Karena itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan
masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak
atau karakter kemanusiaan melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat
dan nyaring. Kebijakan Kemendikbudnas mengutamakan pendidikan karakter
dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di tanah air kita.
Jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter
bangsa itu terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf.
International Education Foundation 2000). Banyak keluarga mengalami
disorientasi bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena
serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel
dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal
Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan
permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada
berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi
keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar
dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak
di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah,
terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk
tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah
anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya,
tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split
personality).
Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan
ini. Dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan
karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat
menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga
kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah
kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai
konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat
pengajaran daripada pendidikan.
Keragaman Budaya dan Multikulturalisme
Padahal dengan membangun karakter kita dapat memperkokoh
jati diri dan ketahanan masyarakat Indonesia multi-kultural, yang memiliki
berbagai ragam budaya. Keragaman budaya merupakan salah satu kekayaan bangsa
ini, yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Bahkan secara konstitusional, baik
dalam UUD 1945, Pancasila maupun dalam prinsip negara bhinneka tunggal ika, keragaman
budaya itu sudah mendapatkan landasannya yang kuat.
Pengakuan terhadap keragaman budaya itu hampir sama
sebangun dengan prinsip multikulturalisme, yang berdasarkan pada ‘politik
pengakuan’ (politics of recognition), mengakui setiap warga memiliki posisi yang setara satu sama lain.
Tak kurang pentingnya, pengakuan terhadap keragaman itu didasarkan pada prinsip
saling menghormati dan menghargai di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Keragaman budaya dan multi-kulturalisme di tanahair kita
dapat terancam jika masing-masing entitas dan kelompok budaya hanya
mengunggulkan budaya masing-masing, dan pada saat yang sama kurang atau tidak
menghargai budaya lainnya. Karena itu, penghargaan pada keragaman budaya mesti
tidak dipandang telah selesai atau dibiarkan berkembang dengan sendirinya;
sebaliknya justru harus diperkuat terus menerus melalui berbagai jalur
interaksi sosial dan pendidikan pada berbagai levelnya.
Dalam konteks itu kita juga mesti memperkuat bangsa
Indonesia yang memiliki jati diri dan ketahanan; berkepribadian dan berkarakter
yang tangguh; berpegang teguh pada nilai-nilai demokratis dan keadaban;
menghargai tinggi law and order; berkeadilan sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan
individual formal dan kesalehan komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup civil society; menghargai keragaman
dan kehidupan multikultural; dan memiliki perspektif lokal, nasional dan global
sekaligus. Daftar ciri-ciri ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi.
Keadaban (civility) ini penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir
masyarakat kita cenderung semakin kehilangan “keadaban” (civility). Kita menyaksikan amuk
massa; tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan kampung,
tetapi juga antar mahasiswa—bahkan di lingkungan satu perguruan tinggi.
Merosotnya keadaban ini juga bisa disaksikan pada berbagai kalangan masyarakat
lainnya; sejak semakin meluasnya KKN melalui “desentralisasi” korupsi yang
menumpang desentralisasi dan otonomi daerah. Banyak anak bangsa telah
kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama sekali.
Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis sosial
yang semakin parah dalam masyarakat kita. Karena itulah kita perlu kembali
berbicara tentang pendidikan karakter.
Peran Keluarga
Berbicara tentang pendidikan karakter, baik kita mulai
dengan ungkapan indah Phillips dalam The
Great Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will be beauty in
the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in
the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation;
if there is order in the nation, there will be peace in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi
seperti dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan karakter merupakan langkah
sangat penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan
menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi penting untuk segara
dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips tadi—bahwa
pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga;
sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris
terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan
pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan
pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai
lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah
diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah
kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif
Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah
mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh
cinta sejati dan kasih sayang.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada
pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan
ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr
ummah) yang merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu)
dan ummah wasath
(bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk
melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a,
keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki
semangat (ghirah) dan
kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan
sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan
menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah
(konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau
tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan
dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan
pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan
seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.
Datang dari keluarga mawaddah
wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka
anak-anak telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses
pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering
dikemukakan banyak orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun
sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan
pendidikan nilai.
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka.
Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di
mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah
juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi
pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan,
bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah
usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk
mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah,
dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran
pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya
mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi
pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa
yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan
etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang
pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang
bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan
standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar
terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan
karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi
kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara
pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka
terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini
dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya
menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah
yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di
sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab
bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang
buruk.
No comments:
Post a Comment