Artikel - Pendidikan Islam dan
Pembangunan Masyarakat Relijius
Oleh:
El
Chumaedi
Memahami konteks pendidikan Islam di
Indonesia tidak cukup hanya dengan melihat bahwa pendidikan Islam merupakan
subsistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pendidikan Islam juga
sekaligus sebagai entitas tersendiri yang memiliki tradisi dan kultur akademik
yang berbeda dengan karakteristik pendidikan pada umumnya. Di antara ciri
substantifnya adalah, bahwa pendidikan Islam dibangun atas dasar kesadaran dan
keyakinan umat Islam untuk menjadi pribadi muslim yang taat (`abdullah,
khalifah fi al-ard). Maka, wajar jika pengetahuan dan wawasan keislaman
merupakan prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam.
Kesadaran semacam ini lalu menjadi èlan vital di kalangan pemimpin agama
yang secara mandiri memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan Islam di tengah
masyarakat, baik secara individual maupun kolektif-kolegial (organisasi
keagamaan, al-jam`iyah al-diniyah).
Pondok (Arab: funduk) atau
pesantren merupakan embrio paling genuine atas dimulainya tradisi
pendidikan Islam di Indonesia. Bentuk tradisional dari pendidikan Islam
tersebut hingga sekarang memang masih bertahan, meskipun secara terus menerus
dan massif tergerus oleh modernisasi, globalisasi, bahkan kapitalisasi
pendidikan yang melanda dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya yang paling
mengkhawatirkan dari transformasi pendidikan Islam ini bukan semata-mata pada
aspek kelembagaannya, melainkan pada semakin surutnya nilai-nilai adi luhung
yang menjadi urat nadi pendidikan Islam di Indonesia. Akibat buruk yang paling
tidak menguntungkan secara institusional bagi keberadaan pendidikan Islam
adalah pudarnya nilai-nilai kemandirian dan keikhlasan dalam penyelenggaraan
pendidikan oleh para pemuka agama. Sementara di sisi lain, pergeseran orientasi
terhadap institusi pendidikan semakin menjurus pada proses fabrikasi yang hanya
akan melahirkan manusia-manusia robot tanpa nilai dan kering dari moralitas
agama.
Kekhawatiran semacam itu tentu tidak
terlalu berlebihan, mengingat sekarang ini ekspektasi masyarakat terhadap
sistem pendidikan yang ada lebih berkecenderungan materialistik,
ketimbang ideal-moralistik. Besar kemungkinan banyak kita jumpai orang
tua murid lebih takut jika kelak anaknya tidak mendapat pekerjaan yang pantas,
daripada lebih takut anaknya akan menjadi seorang koruptor. Dalam prakteknya,
penyelenggaraan pendidikan memang perlu memperhatikan supplay and demand.
Akan tetapi, pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat dari dunia pendidikan
seharusnya tidak lalu mengorbankan idealisme pendidikan untuk mewadahi proses
pemanusiaan manusia (humanizing human) dan proses pembudayaan
masyarakat.
Di tengah persinggungan kepentingan
semacam itulah, institusi pendidikan Islam sangat berpotensi mampu memenuhi
tuntutan masyarakat modern di era global, sekaligus menjadi mercusuar dalam
penguatan nilai-nilai dan moralitas agama. Memang, memasuki abad ke-20 terjadi
transformasi besar-besaran di tubuh pendidikan Islam di Indonesia. Meski tidak
sepenuhnya meninggalkan pola pendidikan tradisional ala pesantren, tetapi
modernisasi di tubuh pesantren telah banyak mengubah rasa pesantren menjadi
sekolah umum dengan sebutan madrasah. Nurcholish Madjid (alm.), Abdurrahman
Wahid (alm.), Karel Steenbrink, Zamachsyari Dhofier, dan Azyumardi Azra adalah
sebagian penulis yang cukup berhasil memotret proses modernisasi yang terjadi
di tubuh pesantren hingga kemudian terlahir pola pendidikan Islam dalam bentuk
madrasah. Transformasi kelembagaan di tubuh pesantren dalam banyak aspek
kependidikan memang membawa semangat pembaharuan yang positif, terutama dengan
semakin terbukanya paradigma kalangan pesantren dalam menangkap semangat zaman
(zeitgeist). Ini tentu saja menjadi momentum bagi umat Islam untuk
belajar disiplin ilmu di luar bidang-bidang keagamaan yang selama ini menjadi
satu-satunya terjemahan dari "tholabu al-`ilmi faridhatun..."
(kewajiban menuntut ilmu) yang dipahami wajib (fardlu `ayn). Sementara
pemahaman dan kemampuan pada disiplin di luarnya dipandang fardlu kifayah,
bahkan boleh jadi sunnah.
Belakangan, diskusi soal eksistensi
pendidikan Islam tidak lagi berkutat pada aspek substantif-akademik,
melainkan semakin mengkerucut pada aspek formatif-institusional. Hal ini
mengingat keberadaan pendidikan Islam dalam berbagai pola dan bentuknya sudah
diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Namun
demikian, dalam situasi di mana terjadi peleburan pendidikan Islam dengan
sistem pendidikan nasional, tentu kita harus tetap memperkuat semangat dan
cita-cita awal untuk membentengi masyarakat muslim dengan nilai-nilai dan
moralitas agama. Jangan sampai tuntutan dunia kerja dan profesional menjadi
satu-satunya tujuan dari penyelenggaraan pendidikan, tetapi pada saat yang
bersamaan melupakan peran pendidikan dalam melakukan transmisi nilai-nilai
agama dan budaya bangsa.
Revitalisasi
Pendidikan Islam
Secara kualitas, tuntutan masyarakat
di era globalisasi terhadap institusi pendidikan Islam tidak berbeda dengan
yang dihadapi institusi pendidikan di Indonesia pada umumnya, mengingat semakin
tingginya tingkat kompetisi bagi lulusan di dunia kerja. Namun, ruang lingkup
pendidikan Islam yang luas, di mana penyelenggaraannya di madrasah, sekolah
umum, dan secara tradisional di pesantren dan majelis taklim, secara
kependidikan berpotensi semakin baik. Hal ini mengingat penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology)
dalam dunia pendidikan sangat membantu dalam meningkatkan layanan pendidikan
yang prima, baik secara administratif maupun akademik.
Sementara itu, diversifikasi
pendidikan Islam yang ditandai dengan penguatan pada disiplin ilmu-ilmu
kemanusiaan dan sosial (human and social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural
sciences) semakin membuktikan kesetaraan institusi pendidikan Islam dengan
sekolah umum. Meskipun memang secara mendasar lokus pendidikan Islam terletak
pada pendidikan agama dan keagamaan. Justru dengan demikian secara keilmuan
lulusan dari lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki nilai lebih (added
value) bahkan keunggulan komparatif (comparative advantage), berupa
wawasan dan pengetahuan keislaman yang relatif lebih baik.
Harapan untuk memiliki nilai lebih
bagi institusi pendidikan Islam tentu bukan persoalan mudah. Ada sejumlah
persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk mencapai target itu. Dari
segi kurikulum, misalnya, kita tidak mungkin menjadikan lembaga pendidikan
Islam mampu melahirkan lulusan yang ideal, ketika struktur kurikulum tidak
memberi ruang yang cukup bagi penguatan bidang-bidang umum secara spesifik dan
intensif; dan begitupun sebaliknya. Pada tingkat madrasah dan Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI), pemenuhan kurikulum secara nasional perlu diekstensifikasi
dengan bidang-bidang keislaman dan kemampuan bahasa asing. Hal ini tidak
memungkinkan jika pembelajaran dilakukan tanpa terintegrasi dengan pola
pesantren (islamic boarding school). Dengan pola pendidikan berasrama,
penguatan bidang-bidang profesional dapat dilakukan secara simultan dengan
penguatan pada bidang-bidang keislaman dan pendidikan karakter (akhlak
al-karimah). Selain itu, interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan
pengelola asrama memungkinkan terciptanya pembiasaan dalam penggunaan bahasa
asing, semangat kemandirian, kultur akademik yang kompetitif, bahkan yang tak
kalah penting adalah aspek keteladanan pengamalan ajaran agama.
Inovasi dan pembaharuan juga
diperlukan dalam pola pengelolaan pendidikan Islam. Sebab, dalam masyarakat
global saat ini, institusi pendidikan Islam dituntut memiliki kinerja yang
produktif, efektif, transparan, dan akuntabel. Di pihak lain, penerapan tata
kelola yang bersih dan baik (clean and good governance) merupakan imbas
positif dari demokratisasi pada level pemerintahan yang kemudian menjadi
tuntutan di semua level organisasi, termasuk pada tingkat lembaga pendidikan.
Sebab, secara tidak langsung, baik atau buruknya pengelolaan pendidikan akan
berdampak pada layanan terhadap peserta didik di semua jenjang pendidikan.
Alhasil, pendidikan Islam di semua
jenis, jenjang, bentuk, dan pola penyelenggaraannya perlu lebih diperkuat lagi
peranannya; pertama, dari aspek keilmuan perlu dilakukan diferensiasi
yang lebih spesifik antara orientasi pengembangan akademik dan orientasi
keterampilan hidup (lifeskill). Kedua, dalam kapasitasnya sebagai
transmitter ajaran dan nilai-nilai keislaman dapat dimulai dengan pembudayaan
dan peneladanan pengamalan ajaran Islam pada level institusional (sekolah dan
madrasah). Dengan penguatan pada dua peran penting pendidikan Islam tersebut,
pembangunan masyarakat relijius dikonstruksi secara sistemik, dengan tidak saja
atas partisipasi dan kesadaran dari masyarakat sendiri, tapi juga ada
upaya-upaya fasilitasi dari negara melalui Kementerian Agama sebagai regulator
penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia. Wallahu a`lam
A.
Paradigma Tentang Hakikat Pendidikan Islam
Kata
“Islam” dalam “ Pendidikan Islam” menunjukan warna pendidikan tertentu, yaitu
pendidikan yang berwarna Islam, jelas pertanyaan yang hendak dijawab ialanh:
“Apa hakekat pendidikan itu menurut Islam?” Untuk menjawab pertanyaan ini lebih
dahulu dibahas defenisi pendidikan itu menurut para pakar, setelah itu dibahas
apakah pendidikan itu menurut Islam. Pembahasan tentang apa pendidikan itu
menurut islam terutama didasarkan menurut keterangan al-Quran dan Hadis,
kadang-kadang di ambil juga meurut para pakar pendidikan Islam. Pembahasn itu
tentulah agak berbau filsafat, suatu hal yang sulit di hindari.
Ada
tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah
(pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen
tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi
nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). (Hasan Langgulung :
1988). Dijelaskan oleh Konferensi International Pendidikan islam Pertama (First
World Conference on Muslim Education) yang diselenggarakan oleh universitas
King Abdul Azzis, Jedah, pada tahun 1977, belum berhasil membuat rumusan
definisi pendidikan Islam. Dalam bagian “Rekomendasi” Koperensi tersebut, para
peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah keselurhan yang
mengandung di dalam istilah ta’lim, tarbiyyah dan ta’dip.
Berdasarkan
ketiga kata itu, Abdurrahman al-Bani (lihat Al-Nahlawi: 32), menyimpulkan
bahwa: “pendidikan (tarbiyyah) terdiri atas empat unsure, yaitu: pertama,
menjaga dan memelihara fitrah anak hingga dewasa (balig); kedua, mengembangkan
seluruh potensi; ketiga, mengalahkan seluruh fitrah dan potensi menuju
kesempurnaan (rupanya ia membedakan antara fitrah dan potensi); keempat,
dilaksanakan secara bertahap”. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran
Islam”.
Pendidikan
merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture and
transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan
manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku
individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan
agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan.
Menurut
pandangan Paulo Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat
tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik
diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah
mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan
Alquran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah
(insan kamil) Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh
nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Maka hakikat
pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :
- Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;
- Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat;
- Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
- Pendidikan berlangsung seumur hidup;
- Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu.
B.
Dasar Pendidikan Islam
Islam
sebagai pandangan hidup yang berlandaskan nilai-nilai ilahiyah, baik yang
termuat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung kebenaran
mutlak yang bersifat transedental, universal dan eternal (abadi), sehingga akidah
diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya
memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimanapun (likulli zamanin wa makanin).
Dengan demikian, karena pendidikan Islam adalah upaya normatif yang berfungsi
untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus didasarkan pada
nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun praktik
pendidikan.
Pandangan
hidup tauhid bukan sekedar pengakuan akan keesaan Allah, tetapi juga meyakini
kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of
mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan dari
kesatuan hidup (unity of Godhead). kajian tentang pendidikan Islam tak lepas
dari landasan yg terkait dgn sumber ajaran Islam yaitu :
- Al-Qur an
Al-Qur’an
ialah firman Allah berupa wahyu yg disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW. Di dalam terkandung ajaran pokok yg dapat dikembangkan utk keperluan aspek
kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yg terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri
dari dua prinsip besar yaitu yg berhubungan dgn masalah keimanan yg disebut
aqidah dan yg berhubungan dgn amal disebut syari’ah. Oleh krn itu pendidikan
Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber dalam merumuskan berbagai
teori tentang pendidikan Islam sesuai dgn perubahan dan pembaharuan (Darajat
2000: 19)
- As-Sunnah
As-Sunnah
ialah perkataan perbuatan ataupun pengakuan rasul. Yang di maksud dgn pengakuan
itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain yg diketahui oleh Rasulullah dan
beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan
sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an yg juga sama berisi pedoman utk
kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspek utk membina umat menjadi manusia
seutuh atau muslim yg bertaqwa. Untuk itulah rasul Allah menjadi guru dan
pendidik utama. Maka dari pada itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara
pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran
berkembang. Itulah sebab mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahami
termasuk yg berkaitan dgn pendidikan.
Pada lokus pertama, misalnya gerakan yang dilakukan di
lingkungan Depag menyangkut status madrasah. Menurut Husni Rahim pembenahan
madrasah harus diawali dengan tekad untuk mewujudkan madrasah sebagai “sekolah
unggulan” yang mampu memadukan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
iman dan taqwa. Nilai plus madrasah terletak pada pendidikan keimanan yang
menekankan kepekaan hati dan ketajaman akal. [i]
Dalam sistem pendidikan nasional, lembaga madrasah diakui
dalam jalur pendidikan sekolah. Hal ini berarti menghapus kesenjangan antara
lembaga pendidikan sekolah dengan lembaga pendidikan madrasah sebagaimana
terjadi pada masa lalu. Dengan demikian madrasah menggunakan kurikulum yang
sama dengan sekolah.
Transformasi lembaga pendidikan Islam tersebut membuka
peluang untuk menemukan penyelenggaraan pendidikan unggulan. Riilnya terjadi
trend baru dalam mengelola madrasah/sekolah dengan spesifikasi sekolah model,
unggulan, favorit, plus, percontohan dan sebagainya, sehingga dapat menarik
peserta didik lebih banyak lagi.
Model seperti di atas dalam level pendidikan dasar dapat
dijumpai di kota-kota tertentu. Misalnya MIN I dan SDI Sabilillah di Malang, SD
Ciputra, SD Al-Hikmah dan SD Bina Insan Mulia di Surabaya, SD Al-Azhar di
Jakarta. Bahkan pendidikan pra-sekolahpun banyak dijumpai dengan model dan
standar tersebut, misalnya di wilayah kota Malang terdapat TK Harapan Bunda, TK
Anak Sholeh, TK Al-Kautsar. Di lingkungan Surabaya seperti Kelompok Bermain dan
Taman Kanak-Kanak (KBTK) Ya Bunayya Hidayatullah, TK Al-Hikmah, dan TK Pembina.
Kecenderungan pengembangan pada lokus kedua terlihat dalam
aspek inovasi strategi pendidikan. Dalam hal ini contoh inovasi yang dilakukan
oleh Depdiknas dan Depag selama beberapa dekade terakhir, seperti Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Sekolah kecil,
Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar jarak jauh. Bahkan inovasi yang
terakhir diterapkan adalah model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dalam
proses KBM-nya didukung oleh penerapan Contectual Teaching & Learning
(CTL), Quantum Learning, dan Active Learning. Namun
model-model inovasi seperti ini banyak yang tidak bertahan lama dan hilang,
tenggelam begitu saja.
Problematika pendidikan anak dengan solusi yang sudah
dilakukan pada lokus-lokus tersebut, masih menyisakan kemungkinan untuk mencari
solusi lainya. Yaitu dari aspek bangunan keilmuan pendidikan anak. Hal ini
dimaksudkan dengan cara mengkritisi kembali masalah pendidikan anak, dengan
menggali, menafsirkan, mengembangkan dan memeperbaharui konsep-konsep yang
telah ada. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi berbagai stereotype pendidikan
anak, agar khusunya pendidikan Islam lebih solid ditengah gencarnya arus
perubahan globalisasi dan modernisasi.
Articles on Islam Teachings in
English and Bahasa Indonesia
Terorisme adalah perbuatan terkutuk yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Saat terjadi pengeboman di Riyadh, Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr berkata, “Alangkah miripnya kata tadi malam dengan semalam. Sesungguhnya peristiwa pemboman dan perusakan di kota Riyadh dan senjata-senjata lain yang digunakan di kota Makkah maupun Madinah pada awal tahun ini (1424 H, sekitar tahun 2003) merupakan hasil rayuan setan yang berupa bentuk meremehkan atau berlebih-lebihan dalam beragama. Sejelek-jeleknya perbuatan yang dihiasi oleh setan adalah yang mengatakan bahwa pengeboman dan perusakan adalah bentuk jihad. Akal dan agama mana yang menyatakan membunuh jiwa, memerangi kaum muslimin, memerangi orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, membuat kekacauan, membuat wanita-wanita menjanda, menyebabkan anak-anak menjadi yatim, dan meluluhlantakkan bermacam bangunan sebagai jihad(?)”
Salah satu penyebab aksi pengeboman adalah adanya sifat ghuluw (berlebih - lebihan) dalam beragama. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَ الغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Jauhilah sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama karena penyebab hancurnya umat-umat sebelum kalian adalah karena ghuluw dalam beragama.” (HR. Al Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebagai orang yang menganut ajaran agama Islam hendaknya kita
mengetahui sejauh mana pendidikan Islam itu sendiri. Tidak sedikit orang
yang mengaku beragama Islam akan tetapi pengetahuan tentang pendidikan Islam
sangat minim yang berakibat tindakan dan tingkah lakunya tidak layak disebut
sebagai orang Islam.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata
orang yang beakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan
pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun
sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada
pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak
bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”
Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu
bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir,
maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang
dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan
langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang
bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang
menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar
menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia
terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik
dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah
kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode
pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia
memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran
pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.
No comments:
Post a Comment